PanaJournalKampung Beting, yang terletak di sekitar Keraton Kadariah, terkenal sebagai “mall narkoba” di Pontianak.

Demi merayakan Hari Kelahiran Pancasila beberapa waktu silam, warganet ramai-ramai menulis tagar #SayaPancasila. Saya jadi teringat sosok Sultan Hamid II dari Kesultanan Kadariah, Pontianak, sang perancang lambang negara Garuda Pancasila.

Hari itu pukul delapan pagi saya berangkat menuju Keraton Kadariah, Pontianak. Dari tempat tinggal saya di Jalan Alianyang, waktu tempuh perjalanan dengan bersepeda motor tak lama, hanya setengah jam. Sejak tinggal di Pontianak mulai 2012, ini kali pertama saya mengunjungi keraton itu.

Tepat di depan keraton ada pasar kaget yang ramai. Berbagai macam barang dijual di situ—mulai dari makanan, minuman, pakaian hingga mainan. Berjarak sepelemparan batu dari pasar kaget ada pasar permanen. Usai menaruh sepeda motor di parkiran pasar kaget, saya berjalan masuk melewati gerbang, menuju ke dalam pelataran atau halaman dalam keraton. Dari kejauhan saya melihat seorang pria mengepel lantai teras keraton.

Di Keraton

Sesampainya di teras keraton, saya segera menyapa pria itu. Namanya Ali, umurnya 60-an tahun. “Pintu baru dibuka jam 10,” kata dia. Saya menunggu sambil duduk di anak tangga di teras.

Sekitar pukul sembilan, dua gadis datang berkunjung. Kami mengobrol ngalor-ngidul. Seorang dari mereka mendapat tugas dari pemerintah untuk mencatat beberapa data keraton dan mewawancarai juru kunci. Seorang lagi tinggal tak jauh dari keraton, di Kampung Beting.

Begitu mendengar Kampung Beting disebut, saya teringat pada berita-berita yang ditulis koran-koran lokal dan obrolan yang sering terdengar di warung kopi. Kampung itu terkenal sebagai sarang narkoba, kawasan merah.

“Mengapa wilayah yang berada di dekat keraton bisa menjadi ‘sarang narkoba’?” Saya penasaran. Namun, belum sempat si gadis menjelaskan, Pak Ali membuka pintu gerbang. Kami bertiga masuk.

(Keraton yang dibangun pada 1773 itu dinamai Kadariah—ada juga yang menyebut Kadriah—sebutan yang berhubungan dengan pendiri kesultanan, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Seluruh sultan yang memerintah di Kesultanan Kadariah memakai nama Alkadrie, termasuk Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie.)

Setelah lebih kurang setengah jam mengelilingi keraton, saya minta dua gadis itu menemani ke Kampung Beting. Mereka menyanggupinya.

Menuju Beting

Menyusuri jalan kecil—lebar sekitar satu meter—di Kampung Beting saya terpana. Rumah-rumah di sana sangat padat. Jalan kecilnya berkelok-kelok dan bercabang, membuat siapa pun yang baru kali pertama ke kampung ini akan tersesat. Rumah-rumah di situ didirikan di atas air Sungai Kapuas dengan penyangga tiang-tiang kayu. Saat itu air sedang surut, sehingga kotoran dan sampah yang berada di permukaan air terlihat lebih jelas.

Rumah-rumah di Kampung Beting berdiri pada 1930-an, pada masa-masa akhir Kesultanan Pontianak. Saat itu bentuk rumah masih semi permanen, menggunakan bambu atau kayu sebagai fondasi untuk membuat rumah terapung. Jenis rumah demikian disebut rumah lanting atau terapung. Dari informasi warga, rumah-rumah semi permanen itu dulunya dihuni para pendatang dari luar Pontianak yang berprofesi sebagai pedagang.

Sejak 1960-an, bentuk rumah mulai berubah. Rumah-rumah dibangun permanen dengan menancapkan tiang-tiang penyangga ke dasar sungai, dan pada ketinggian beberapa meter di atas air baru dibangun lantainya. Rumah seperti itu disebut rumah tiang; kalau berada di daratan sering juga disebut rumah panggung. Untuk menghubungkan rumah satu dan lainnya, dibuatlah ‘gertak’, atau jembatan kayu. Jembatan-jembatan penghubung inilah yang menjadi jalan kecil berlebar sekitar satu meter, meliuk dan bercabang. Pada 2005, jalanan mulai dibeton.

Kami berjalan sampai dermaga kecil di dalam kampung. Di situ saya berkenalan dengan M. Dedi. Dia lahir pada 1956, sudah menambang sampan sejak SD—walau tak ingat mulai kelas berapa. Penambang sampan adalah istilah warga setempat untuk pengemudi atau pendayung sampan yang mengantarkan penumpang bolak-balik menyeberangi Sungai Kapuas. Sekarang ini, sekali jalan menyeberang ongkosnya tiga ribu rupiah seorang.

Dari pekerjaan itu ia menghidupi keluarganya. “Tiap keluarga memiliki tujuan masing-masing, hidup dengan cara masing-masing,” ujarnya. “Saya memilih untuk hidup di jalan ‘lurus’, membesarkan anak-anak saya dengan bekerja sebagai penambang sampan. Nyatanya anak saya bisa sampai lulus kuliah.” Ia tampak bangga menyebut empat anaknya berhasil ia sekolahkan dari hasil kerja keras.

Pilihan Dedi untuk hidup ‘lurus’ dan sampai bisa menguliahkan anaknya diwujudkan dengan menabung sedikit demi sedikit. Kalau sehari dapat uang lima puluh ribu, yang dua puluh ribu ia sisihkan untuk biaya sekolah anak.

“Beting memang dikenal negatif di Pontianak. Tapi tidak semua orang di sini seperti itu. Masih banyak orang seperti saya yang bekerja sebagai penambang sampan,” katanya.

Menjelang 1990-an narkoba mulai diperjualbelikan di kampung itu. Warga setempat banyak yang tergiur mengedarkan narkoba karena untungnya besar dan cepat. Selain itu, faktor lainnya adalah perubahan penggunaan alat transportasi. Dulu, orang bekerja menjadi penambang sampan karena sepeda motor masih sedikit. Sekarang, membeli sepeda motor sangat mudah dengan fasilitas kredit, bahkan bisa dibawa pulang tanpa uang muka. Penumpang sampan pun makin lama makin sedikit. Generasi yang lebih muda memilih menekuni pekerjaan lain, ada juga memilih mengedarkan narkoba sebagai pekerjaan sambilan.

Saat mengobrol dengan Dedi, di sekitar kami ada beberapa orang duduk-duduk di kursi. Waktu kami mengobrol soal narkoba, Dedi sempat mengedipkan mata dan memajukan dagunya ke arah beberapa orang di situ. Ia berdehem, hendak memberi isyarat, bahwa orang-orang yang ‘ditunjuk’ mata dan dagunya adalah pengguna atau mungkin pengedar narkoba.

Saya mengangguk paham, melirik ke arah mereka, dan melihat sosok mereka ketika mereka tak memandang ke arah saya. Penampilan mereka sangar. Ada yang bermata merah, dan matanya sayu, tersenyum tipis. Ada yang berbadan besar, berkulit gelap, berkaos singlet, dan lengannya bertato.

Beberapa tahun belakangan, narkoba tidak hanya diperdagangkan di Kampung Beting, sudah meluas ke mana-mana di beberapa wilayah di Kota Pontianak. Namun, tetap saja kampung itu yang menjadi pusatnya. Orang bahkan menyebut Beting sebagai ‘mall¬-nya narkoba’ di Pontianak. Pengedar narkoba juga tidak selalu berasal dari Kampung Beting, ada juga yang dari luar.

“Mas, tapi janganlah berpikir, bahwa kami ini lupa Tuhan. Silakan mampir kapan-kapan lain waktu pada malam Jumat. Kelilingilah kampung ini. Di beberapa tampat kami masih mengadakan pengajian,” ujar Dedi.

Warga Beting lain yang saya temui adalah seorang ibu rumah tangga bernama Meryam. Saya merasa perlu menanyakan kepadanya sebuah kabar yang saya dapat dari internet: di Beting, anak-anak dan ibu-ibu menjadi kurir narkoba.

“Narkoba yang beredar di sini dibawa orang dari luar, Pak. Kami ini lebih banyak jadi pengedar,” Meryam menjelaskan. “Ibu-ibu dan anak-anak dilibatkan jadi pengantar karena biasanya justru lebih aman, enggak mencurigakan.”

“Mencurigakan polisi?”

“Iya. Soalnya, dengar-dengar, polisi lumayan sering mampir ke sini. Banyak yang menyamar, Pak. Kalau menggerebek sih ramai-ramai, agak jarang. Tapi kalau menyamar satu dua orang, kelihatannya lebih sering.”

Gadis kawan saya menunjuk jalanan kampung yang sempit, berkelok, dan bercabang, “Dengan kondisi jalan seperti ini, polisi jadi susah menggerebek. Kalau ada penggerebekan narkoba, biasanya tidak sedikit polisi yang diturunkan. Langsung beramai-ramai.”

Begitulah, ketika dihadapkan dengan uang, orang bisa menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran hukum. Mengubah paradigma warga untuk mencari rezeki halal akan menjadi tugas yang panjang. Untuk mengatasi masalah peredaran narkoba, pemerintah berencana menjadikan Kampung Beting sebagai kampung wisata air. Nantinya, bila berkunjung ke kampung itu, wisatawan akan diajak berkeliling kampung di atas sampan.

Upaya mengubah citra Kampung Beting muncul dari banyak kalangan, termasuk dari warga kampung itu sendiri. Belakangan, ada juga anak-anak muda yang tergabung dalam Beting Street Art yang membuat lukisan-lukisan bertema edukasi di dinding-dinding rumah penduduk. Lukisan-lukisan itu juga diberi kata-kata yang memotivasi generasi muda agar peduli pada pendidikan. Salah satunya: “Oiii… budak-budak… kejarlah cite-cite selagi mude.” (Artinya: “Oiii… anak-anak dan pemuda… kejarlah cita-cita selagi muda.)

Meriam

Dari Kampung Beting saya mampir ke Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Pontianak. Saya bertemu Ibu Nur, Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberdayaan. Menurut beliau, kasus penggunaan narkoba di Beting sudah menjadi perhatian nasional. Tarafnya bukan lagi kota maupun provinsi.

“Untuk Kampung Beting, yang dilakukan bukan lagi pencegahan, tapi penanganannya sudah dalam tahap pembinaan kawasan rawan.” Ia juga menambahkan, seperti yang disampaikan Ibu Meryam, pengguna narkoba yang ada di Beting lebih banyak dari luar kampung. “Kebanyakan datang ke sana, beli sama orang Beting, makai di sana,” katanya.

Permasalahan Kampung Beting bukan hanya pada kerawanan peredaran narkoba. Perjudian juga marak, dan barang-barang curian sering ditadah di situ. Beberapa kali pemerintah mengambil inisiatif, berupaya memberikan pelatihan untuk mengembangkan life skill kepada para pemuda seperti menyervis ponsel dan mengelas.

“Selain itu, ibu-ibu di sana, lewat kegiatan PKK sering diminta mengawasi dan mengingatkan suami dan anak-anaknya agar tak terlibat dalam transaksi atau pemakaian narkoba,” kata Ibu Nur.

Begitulah, Kampung Beting memiliki syarat-syarat yang membuat perdagangan narkoba tumbuh subur: mudah dimasuki siapa pun dari sungai dan darat, jalannya berliku-liku sehingga membuat polisi perlu upaya ekstra bila menggerebek, dan kondisi perekonomian masyarakatnya menurun karena—salah satunya—perubahan pilihan alat transportasi yang mempengaruhi penghasilan warga.

Hari makin sore ketika saya meninggalkan kantor BNN, melintasi jembatan Sungai Kapuas. Saya menyusuri jalan kecil di samping jembatan, melihat meriam-meriam karbit. Meriam-meriam itu berdiameter sekitar setengah meter, panjangnya sekitar tiga meter. Kayu untuk membuatnya dari bermacam-macam jenis, bisa dari kayu mabang, meranti, atau ulin.

Tradisi membuat meriam sudah ada sejak dulu. Masyarakat Pontianak meyakini sejarah lisan yang menyebut, bahwa dulu, pendiri Kesultanan Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, menggunakan meriam untuk menentukan di mana Keraton Kadariah mesti didirikan. Meriam ditembakkan, pelurunya jatuh di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak—di situlah keraton dan masjid berdiri.

Meriam dibuat dengan melubangi bagian tengah kayu; atau membelah kayu menjadi dua, mengerok bagian tengahnya, lalu disatukan lagi dengan diikat rotan. Seorang warga yang saya temui di situ mengatakan bahwa festival meriam tahun ini diikuti sekitar 40 kontestan yang berasal dari perkampungan di sepanjang Sungai Kapuas. Saya mampir melihat-melihat meriam dari dua kontestan yang berbeda. Salah seorang baru selesai membuat meriam, yang lainnya sudah mulai menghiasi meriam dengan gambar-gambar bunga.

Dana membuat meriam rupanya diperoleh dari iuran masyarakat. Kadang warga juga mengajukan proposal ke bank, atau instansi pemerintah dan swasta lainnya. “Kadang ada yang ngasih, ada yang nggak,” kata seorang warga. “Festival akan diadakan pada hari terakhir di bulan Ramadan. Mampirlah ke sini nanti, Mas!”

Langit makin gelap, matahari perlahan-lahan tenggelam, lalu sirna dari langit khatulistiwa. Lebaran akan tiba. Saya berharap bisa menyaksikan dan mendengar dentum-dentum meriam di malam terakhir Ramadan. ***

Leave a Reply