PanaJournal –Dalam sampul buku komik Peter van Dongen, yang tertulis adalah judul Rampokan, bukan Rampogan. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S.Prawiroatmodjo, 1957), rampog memang berarti rampok, tetapi adalah rampogan yang berarti “menghujani senjata kepada harimau”—tiada cerita tentang rampokan.
Sangat mudah untuk mengatakan bahwa ejaan rampokan itu “salah”—tetapi jauh lebih produktif untuk mempertimbangkan bahwa perbedaan antara rampogan dan rampokan itu disebabkan oleh faktor-faktor determinan takterhindarkan, yang berasal dari faktor sosial historisnya, yakni sudut pandang eksotik budaya indo.
Proses yang berlangsung dari rampogan, dengan “g”, menuju rampokan, dengan “k”, sebetulnya adalah suatu proses pascakolonial: bahwa kondisi pascakolonial tidak mungkin dibicarakan terpisah dari situasi kolonial yang mendahuluinya. Dalam komik ini, pembaca Indonesia akan membaca masalalunya melalui suatu wacana pascakolonial, yang semestinyalah mengundang pembacaan kritis, karena riwayat diri sendiri ini diceritakan orang lain.
Masalahnya, seberapa “lain”-kah orang lain ini? Di Amsterdam, pada 2 Oktober 2015 lalu, saya bertemu Peter van Dongen, kami satu panel untuk diskusi bertema Now and Then dalam festival sastra Read My World.
“Apakah Rampokan ini otobiografis?” Tanya saya.
“Rampokan adalah fiksi,” katanya, “tetapi yang dialami salah satu tokohnya juga dialami ibu saya. Pengalaman mereka sama.”
Peter van Dongen adalah seorang Indo yang keluarganya pindah ketika harus memilih kewarganegaraan, jadi tentu ada sejarah keluarga yang diserapnya. Namun ia juga melakukan riset, dan menemukan banyak fakta yang sering diabaikan oleh orang Belanda sendiri. Tampaknya riset ini menentukan, sehingga Rampokan memiliki formasi naratif yang tidak terlalu biasa sebagai teks dari sudut pandang Belanda tentang Indonesia, maupun dibanding sudut pandang Indonesia tentang Belanda. Kiranya suatu sudut pandang Indo, yang secara umum akan disebut budaya mestizo.
Dalam peluncuran Rampokan terjemahan Indonesia pada 2014, seorang sejarawan terbaca menunjukkan fakta-fakta yang keliru, tetapi tidak jelas dalam berita Kompas tersebut fakta mana yang dimaksud. Kebersalahan fakta historis, jika memang ada, saya kira tidak harus menggugurkan kualitasnya sebagai komik. Sejauh komik ini tidak merupakan komik dokumenter atau komik nonfiksi tentang sejarah, pertaruhannya bukan pada salah-benar fakta, melainkan pada keberdayaan naratif.
Harimau Dianggap Penjajah
Rampogan adalah suatu pertunjukan yang merupakan tradisi di Jawa pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pertunjukan itu berlangsung hari Lebaran, sebagai bagian dari perayaan menutup bulan Ramadhan. Pada hari itu penduduk akan datang berbondong-bondong ke alun-alun. Mereka akan membentuk lingkaran dengan berdesak-desakan, tempat baris terdepan terdiri dari orang-orang yang membawa tombak panjang dan runcing. Di salah satu sisi terdapatlah panggung bagi para pejabat setempat, biasanya setingkat bupati dan para pejabat Hindia Belanda juga—mereka siap menyaksikan peristiwa rampog macan, pertunjukan membantai harimau, baik harimau loreng, tutul, maupun kumbang yang hitam kelam itu.
Makhluk-makhluk ini ditangkap dari hutan, dimasukkan ke dalam kotak yang terlihat berjajar di alun-alun. Kotak itu sengaja dibuat untuk acara rampokan/rampogan ini, sehingga terdapat mekanisme pembukaan kotak yang membuat sang raja hutan terpaksa keluar dari kotak setelah sisi-sisinya terbuka. Untuk kotak yang hanya bisa dibuka salah satu sisi, sehingga memungkinkan harimau di dalamnya tetap tidak keluar, maka tersedia lubang di sisi lain agar bisa dimasuki tombak untuk menyodok-nyodok harimau itu keluar. Dalam berbagai laporan yang ditulis tentang pertunjukan ini, antara lain dalam Bakda Mawi Rampog (RM Kartowibowo, 1928), dikisahkan tentang harimau yang akan menjadi panik dan berlari ke sana kemari, hanya untuk berhadapan dengan tombak-tombak yang melukai dan membuatnya tewas.
Peristiwa apakah ini sebenarnya? Disebutkan bahwa rampog macan adalah upacara yang menjadi simbol pengusiran roh jahat, tentu tanpa harus meminta izin harimau itu apakah sudi menjadi representasi roh jahat atau tidak. Dalam pemahaman ini, agak relevan catatan J. B. Ruzius pada 1906, “… aku mendekat dan menyaksikan bagaimana setiap orang berusaha gagah di hadapan bangkai yang terluka parah. Bahkan ada yang dengan kaki telanjang menendang luka yang makin lebar menganga itu.” (Moersid, 1984). Jelas melalui kacamata orang Belanda itu, orang Jawa tidak terpandang dengan hormat.
Masalah jadi lain ketika diam-diam harimau ini dipandang oleh penduduk sebagai representasi penjajah—jadi pembantaian harimau adalah suatu katarsis. Bahwa harimau merupakan representasi penjajah, yang artinya disetarakan dengan roh jahat, disebut berasal dari tradisi pertunjukan sebelumnya, yakni adu banteng dengan macan, yang sering dimenangkan oleh banteng, meski binatang satu ini cukup lamban. Orang-orang Jawa melakukan identifikasi diri dengan banteng tersebut, dan tanpa disuruh segera mengharimaukan orang-orang Belanda yang takbisa dilawan itu.
Tafsiran politis pernah diberlakukan kepada lukisan Raden Saleh dari tahun 1848, Antara Hidup dan Mati, yang menggambarkan pertarungan seekor bison melawan dua ekor singa. Lukisan yang terbakar tahun 1931 itu pernah ditafsirkan sebagai perlawanan orang Jawa terhadap kolonialisme Belanda. Tahun lukisan tersebut dibuat betapapun beresonansi dengan masa pertarungan banteng melawan macan, sebelum hanya menjadi pembantaian harimau antara 1890-1900-an, dan akhirnya dilarang secara resmi oleh pemerintah kolonial pada 1905 dengan alasan populasi maupun alasan etis. Catatan Ruzius di atas rupanya adalah kenangan setelah rampog macan tersebut dilarang.
Budaya Indo, Komik Indo
Jika budaya mestizo berada di pinggiran, dan dalam hal budaya Indo Belanda terpastikan berakhir dengan pengakuan atas kemerdekaan, kebudayaan Indo itu diserap tanpa batas “keindoan darah”. Artinya, meski kedua orang tuanya Belanda, jika kedua orang tuanya dan dirinya sendiri lahir di Hindia Belanda, akan tumbuh dalam iklim budaya yang sama saja dengan keturunan pasangan serdadu Ambon dan peranakan Tionghoa—dan itulah tokoh-tokoh yang setelah sempat “pulang” ternyata kembali lagi sebagai serdadu Tentara Kerajaan Belanda (KNIL).
Alur komik Rampokan, baik yang Jawa maupun Selebes, memperlihatkan adegan rampog macan yang membayangi-bayangi cerita sebagai “faktor mistik”, tentu maksudnya bermakna simbolis. Harimau yang lolos dalam bagian Jawa akhirnya tertombak di bagian Selebes sebagai penggambaran seorang Belanda yang menemui akhir hidupnya dalam perburuan. Apakah Belanda itu diburu rakyat? Memang, tapi ia diburu Belanda pula, yang menyebutnya pengkhianat. Dua dunia yang tidak terdamaikan, yang melahirkan dirinya, telah melibasnya.
Jadi apakah status sang rampog macan? Tak lagi membantai penjajah Belanda tentunya, karena sebuah faktor membaliknya: sudut pandang budaya Indo yang merasa dirinya “Indonesia” padahal datang sebagai tentara Belanda.
Ada jarak antara pelarangan resmi rampog macan tahun 1905 sampai kedatangan kaum mestizo ke Jawa pada 1946 dan Sulawesi pada 1950, tetapi bukankah adegan rampog macan itu adalah kenangan Johan Knevel atas kenangan Ninih pembantu Tionghoa-nya, yang kemudian melahirkan anak ayahnya? Jarak ruang-waktu yang memungkinkannya jadi mitos.
Membaca komik ini mesti pelan-pelan, bukan sekadar karena masa lalu begitu sering dileburkan ke masa kini, sehingga mesti pelan-pelan juga memilah-milahnya, tetapi juga karena teknik garis-jelas (clear-line) dalam penggambaran, memberi pembaca kesempatan yang sangat lama untuk “membaca gambar” sampai ke sudut-sudutnya guna menikmati eksotisisme: sesuatu yang indah justru karena tidak dikenali kenyataannya.