PanaJournal – Pada mulanya adalah eksotisme. Sesuatu yang asing di mata para ilmuwan Barat, namun tiba-tiba akrab, hadir di depan mata ketika melihat dunia Timur. Bentang alam: laut, sungai, hutan, sawah berpadu dengan adat dan praktik religiusitas setempat, agama Hindu Bali yang penuh dengan selebrasi, dan ekspresi-ekspresi estetik memukau.

Judul: Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik
Pengarang: Goeffrey Robinson
Penerjemah: Arief B. Prasetyo
Penerbit-tahun terbit: LKIS Yogyakarta-2006
Jumlah halaman: 523

 

Seperti layaknya ilmuwan Barat lain, Geoffrey Robinson sempat terbawa arus romantik-eksotis Bali. “Ketika pertama kali mengunjungi Bali pada 1978, saya sangat terkesan oleh keindahan lahiriah dan kekayaan budayanya” (hal.xii-xiii).

Citra Bali yang eksotis tidak hadir tiba-tiba. Citra itu dibangun dari proses historis panjang yang menandai pola interaksi Barat-Timur, dan bagaimana interaksi itu direproduksi ulang lewat penulisan sejarah Bali. Di satu sisi Bali dicitrakan secara romantik dalam beberapa laporan pemerintah kolonial maupun penulisan sejarah resmi, di sisi lain sejarah Bali ternyata juga penuh dengan konflik-berdarah.

Dipandu oleh pertanyaan besar tentang bagaimana asal-usul citra romantik Bali, dan implikasi politisnya, Robinson hendak menunjukkan bahwa para ilmuwan terdahulu telah mengabaikan masa-masa kekerasan politik di Bali. Kekerasan hanya dilihat sebagai penyimpangan dari norma sosial, alih-alih bagian integral dari sejarah Bali. Singkatnya, Bali selama ini mengalami reproduksi historiografis seturut dengan ideologi ilmu-ilmu sosial kolonial dengan kaidah eksplanasi Mooi Indie, Hindia Molek. Mooi Indie menjadikan sejarah Bali dituturkan mengikuti kaidah bahwa Bali adalah daerah yang penuh harmoni, a politik, kental dengan kecenderungan “tradisional-primitif” yang mewujud dalam praktik-praktik kebudayaan, seni, dan religiusitasnya.

Robinson menulis bagian satu buku ini dengan sangat provokatif, -mungkin juga ambisius. Ia hendak menjabarkan narasi tanding atas sejarah dan historiografi Bali dalam periode yang cukup panjang. Merentang sejak masa kolonial Belanda akhir abad 19, hingga pembantaian masal 1965-1966. Robinson menegaskan bahwa kecenderungan Mooi Indie dalam historiografi Bali sejak 1920 menyebabkan ketimpangan naratif. Hilangnya kompleksitas realitas politis Bali sebagai lokus sejarah sosial politik yang lekat dengan konflik sosial-politik, dan mediasi-mediasi kultural yang sengit dari berbagai macam kepentingan kekuasaan yang ada –Belanda, Jepang, Rakyat, Elite lokal raja dan puri-purinya, kaum nasionalis republikan dll-.

Kebutuhan membaca ulang sejarah Bali adalah untuk menghadirkan bagian-bagian ketegangan politik-sosial yang sempat hilang dalam historiografi Mooi Indie. Robinson memperlihatkan bahwa periode keberadaan Belanda di Bali dengan politik penundukan berbasis “pemuliaan tradisi” melalui kongsi dengan elite raja puri-puri lokal, penuh dengan gesekan sosial-politik. Kebijakan Baliseering (Balinisasi) yang didahului dengan pembentukan “Peradilan Pribumi” beranggotakan perwakilan dari elite religius dan keluarga raja berkasta tinggi memancing gejolak perlawanan rakyat.

Bali sebagai “museum hidup” dengan citra romantik mendapat reaksi keras dari lapisan intelektual muda, para guru, dan rakyat Bali berkasta rendah yang menginginkan masyarakat Bali menentukan nasibnya sendiri. Belanda sangat arogan terhadap rakyat Bali yang memprotes kebijakan tersebut. Akhirnya, konflik-konflik lokal tak terhindarkan lagi. Konflik tersebut tidak hanya disulut oleh kebijakan kebudayaan pemerintah kolonial, tetapi juga kebijakan ekonomi berupa kewajiban menanam-menyetor upeti yang tidak adil sehingga menyebabkan kesengsaraan rakyat (hal.74-75).

Penelusuran Robinson berlanjut pada gejolak proses politik yang terjadi selama masa pendudukan Jepang hingga menjelang Proklamasi Kemerdekaan (bab 4-5). Ambisi Jepang untuk menjadikan Bali sumber bagi logistik perangnya, dan juga sikap abai Jepang -jika dibandingkan dengan Belanda- terhadap persoalan adat-kebudayaan Bali tumbuh bersamaan dengan mulainya gerakan anti-kolonial para nasionalis di Jawa. Pada periode ini rakyat Bali mulai berani dengan terang-terangan melawan Jepang dan sekutu lokalnya. Organ-organ rakyat berskala lokal dibentuk untuk mendukung nasionalis republikan di Jawa.

Bab 5-6 adalah potret kompleksitas pergolakan politik di Bali menjelang kemerdekaan Indonesia. Pertentangan tajam mencuat di antara sisa-sisa elite puri lokal yang pro Belanda, pro republik, maupun yang memiliki sikap mendua. Selain itu Robinson juga memotret dengan baik semangat dan perselisihan antara nasionalis tua dengan golongan pemuda militan yang melakukan pergerakan di desa-desa pelosok Bali.

Proses perubahan posisi politik semakin menarik pasca kemerdekaan 1950-1955 (bab 7-8 sampai akhir), ketika dengan gamblang terjadi berbagai macam gejolak politik hingga memuncak pada peristiwa 1965-66. Ada perubahan sosial dan konflik politik yang amat ditentukan oleh pusat-pusat kekuatan politik yang mulai mengalami perubahan drastis: Republik di Jawa, sisa rezim kolonial di Batavia dan pusat NIT (Negara Indonesia Timur) di Makassar (hal.272-273). Peristiwa kekerasan politik 1965-66 menjadi tanda bagi mulai terlihatnya ketidakseimbangan faktor historis: ketimpangan ekonomi, ketidakadilan kelas/kasta, afiliasi politik, kekejaman elite lokal yang selama ini tidak diungkapkan historiografi Mooi Kolonial.

Dalam rentang sejarah Bali peristiwa 1965-66 menjadi fakta yang menyentak, sebab ternyata realitas Bali yang didaku berproses sesuai dengan struktur pengandaian kunci Mooi Indie malah bergerak melawan arus. Lantas, bagaimana mempertahan Bali yang eksotis-apolitis ketika kekerasan pasca kudeta 1965-66 menunjukkan betapa kisruh dan “politis”nya orang-orang Bali. Robinson menganalisis bahwa peristiwa 1965-66 menjadi momen kekerasan politik yang mencuat akibat tumpukan konflik yang mengakar secara historis.

Bermula ketika penaklukan Belanda atas tiga kerajaan kecil di Bali pada 1906-1908 tercapai setelah pertumpahan darah. Bahkan selama masa pemerintahan kolonial Belanda dengan prinsip pemerintahan yang menjaga perdamaian dan ketertiban (rust en orde) secara kasat mata telah menyelubungi konflik serius tentang kasta, pertentangan politik, dan ekonomi. Selama revolusi nasional (1945-1959) yang jelas mempertentangkan antara “orang Indonesia” dan “orang Belanda” sekitar 2000 orang Bali tewas, sepertiganya berperang untuk pihak Belanda.

Selama 1950-1951 tak lama setelah kemerdekaan sering sekali terjadi baku hantam dan konflik antar rakyat. Pada 1953-1956 juga menjadi tahun-tahun penuh intimidasi, dan pembunuhan politik yang diakibatkan oleh pemilu 1955. Pada tahun 1960-an antagonisme dua simpatisan partai besar PNI dan PKI semakin meruncing. Dipertajam oleh kebijakan land reform yang nantinya menjadi lanskap awal bagi tragedi pembunuhan massal di tahun-tahun selanjutnya (hal.4).
***

Peristiwa kekerasan politik di Bali 1965-66 belum dituliskan dengan baik. Padahal periodisasi peristiwa itu masih dalam jangkauan sejarah Indonesia kontemporer. Artinya, kekerasan politik 65-66 sebagai fakta historis masih amat dekat jaraknya dengan perkembangan sejarah Indonesia kontemporer hingga tahun 1970-an. Pada dekade yang sama antropolog Clifford Geertz, menerbitkan The Interpretation of Culture, di dalamnya memuat 3 esai tentang Bali. Sayangnya 3 esai itu secara spesifik tidak membahas kekerasan 65-66. Padahal Geertz masih sangat mungkin mengamati dinamika Bali dalam kaitannya dengan kekerasan 1965-66.

Geertz hanya menyinggung : “Sesudah kudeta 65, menyusul beberapa bulan kebiadaban yang hiruk pikuk, terutama di Jawa dan Bali dan secara sporadis di Sumatra, yang ditunjukkan kepada individu yang dianggap pengikut Partai Komunis Indonesia” (hal 12). Geertz yang enggan menganalisis peristiwa tersebut menyiratkan masih kuatnya pemahaman esensialis dalam melihat sejarah Bali. Pembicaraan konflik politik di Bali akan membawa orang keluar dari ranah Bali yang otentik, atau orisinal dan masuk pada Bali yang kacau, penuh konflik politik dan ketimpangan ekonomi.

Sampai 32 tahun kekuasaan Orde Baru, Bali tetap dipertahankan sesuai dengan representasi citra romantik yang disebarkan pemerintah kolonial untuk mendukung politik rust en orde. Secara ideologis ambisi Orde Baru untuk menciptakan tatanan politik yang menjunjung tinggi “ketenangan”, “harmoni” untuk menutupi berbagai macam pertumpahan darah, ketimpangan ekonomi, dan pelanggaran HAM di baliknya bisa dilacak sebagai warisan ideologi politik kolonial. Hingga kini citra romantik-eksotik Bali yang dibangun sejak masa kolonial masih sangat sering terdengar, bahkan menjadi jargon utama promosi-promosi pariwisata yang dilakukan pemerintah.

Mencermati data bentangan naratif yang dituturkan Robinson adalah menemukan jawaban dari tesis Robinson tentang sejarah sosial-politik Bali yang hilang. Robinson berhasil menunjukkan bukti-bukti historiografis yang padat bagi tesis penelitiannya. Di sana-sini penuh analisis dengan data-data yang mencengangkan. Catatan kakinya menarik, karena memaparkan sumber-sumber sejarah bagi tautan peristiwa-peristiwa pergolakan sosial-politik yang luput dari historiografi Mooi Indie.

Pada bagian kesimpulan Robinson memberikan refleksi dalam satu paragraf yang menarik. Saya kira refleksi itu tetap aktual-relevan untuk melihat perkembangan sosial politik Indonesia kontemporer:

“…………fondasi komunitas politik tidaklah asali, dan tidak pula abadi, melainkan hasil dari proses historis dan agensi manusia…….akar kesetiaan, konflik dan kekerasan di komunitas politik mana pun tidak mungkin terletak dalam ketentuan primordial atau dalam pola-pola persaingan “tradisional”, tapi dalam saling pengaruh dialektis antara berbagai kekuatan historis” (hal.482).

Bertolak dari refleksi Robinson tersebut, bagaimana kita kemudian memahami slogan/indoktrinasi NKRI Harga Mati? Bukankah slogan itu secara terang menghendaki satu bentuk utuh identitas kebangsaan yang telah purna, diikuti kesetiaan tunduk padanya? Sementara menafikan perkembangan historis-politik yang pernah dan tengah terjadi di Indonesia. Bagaimana kita memahami ulang peristiwa pergolakan sejarah di Timor-Timor, Aceh, Maluku sampai Papua yang selalu menarik kita untuk ragu, bahwa bisa jadi kehendak nasionalis beda tipis dengan semangat imperialis. Adakah jalan lain untuk memaknai ulang lema “utuh” “harga mati” dalam kosa kata sosial-politik kita hari ini?

 

Danang T.P  tinggal di Yogyakarta dan belajar Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma

Leave a Reply