PanaJournal — Sosok tua penjaga hutan. Penerima Kalpataru yang keras kepala.

Langit mulai gelap di desa Geneng, Bulukerto, 70 kilometer timur laur dari pusat kota Wonogiri. Untuk menuju desa ini mesti melalui jalur aspal menanjak. Semakin naik, semakin sering jalan tersusun dari bebatuan kecil. Rumah-rumah warga sudah tampak bagus. Bangunannya permanen.

Selain bertani, tak sedikit warga dari 900-an kepala keluarga di desa ini merantau berdagang bakso atau menjajakan jamu. Sebagian warga terlihat menjemur kunir dan kunyit di jalan desa dan halaman rumahnya.

Rumah Sadiman kini tak kalah bagus dari para tetangga. Temboknya dinding permanen dan lantainya keramik coklat. Terasnya bertiang model pilar, meski atapnya masih asbes.  Hanya dapur yang masih menunjukkan kondisi  asal: berdinding kayu dan berlantai tanah.

Rumah itu juga memiliki toilet baru. Bagian yang dipertahankan, bak penampungan dari batu berbentuk dua tabung. Bak itu penuh, airnya meluap, mengalir tanpa henti dari pipa kecil. Inilah salah satu bukti  jerih payah Sadiman:mempertahankan aliran air yang tak pernah putus di desa itu.

Hampir satu jam saya menunggu, ditemani secangkir teh hangat yang lekas mendingin. Istri Sadiman, Wagiyem, menghilang setelah sesekali lewat ke arah dapur.

Tiba-tiba, dengan langkah cekatan si empunya rumah masuk. Dia nyerocos dalam bahasa Jawa. Suaranya seperti gumaman; apalagi mulutnya yang kecil seperti tertutup semak kumis dan jenggot yang putih lebat menyatu. Ditambah uban yang subur di kepalanya, penampilan Sadiman makin kontras dengan setelan kain hitam-hitam.

Perawakan pria tua itu kecil dan kurus. Namun, dari cara jalannya yang cekatan, ia terlihat amat liat. Setelah duduk,sembari terus bicara ke sana kemari, termasuk dengan saya yang seolah sudah dikenalnya, ia menyalakan Sampoerna hijau.

Di samping kursi, di ruang tamu itu, lemari kaca memajang berbagai piagam. Di bagian paling atas terpacak penghargaan paling mencolok yang berkilau keemasan: Kalpataru. Anugerah pada figur atau kelompok peduli lingkungan itu diberikan pada Sadiman medio 2016. Ini karena ikhtiarnya bertahun-tahun merawat hijau Bukit Gendol di desanya.

Petang itu, saat saya sambangi, Sadiman baru pulang dari Ponorogo. Seharian ia mengikuti manasik haji. Ia mendapat hadiah umrah gratis dari NET TV dan berangkat pada Ramadan, 31 Mei. “Susah juga mau ke luar negeri, harus ganti huruf segala macem,” kata dia.

Sadiman tercatat lahir di Geneng, 4 Februari 1952. Padahal ia mengaku kelahiran 1954 dan usinya dituakan untuk kebutuhan kerja. Pendidikan terakhirnya kelas satu STM jurusan bangunan.

“Saya ndak ngeluh, meski semangat saya tidak ada yang ngerti, malah disebut orang gila,” ujar Sadiman.

“Saya sempat ditawari guru, ijazah SMP masih laku, tapi saya nggak mau pulang,” kata dia yang sempat merantau ke Surabaya, Lampung, dan beberapa kota di Kalimantan untuk bekerja di berbagai proyek sebagai tukang bangunan.

Pertengahan 1991, Sadiman pulang kampung. Dia bekerja sebagai penyadap pinus di kawasan Perhutani di perbukitan Gendol. Selama lima tahun di kawasan itu, ia sadar, pinus bukan tanaman yang cocok untuk pelestarian alam. Apalagi ada pembalakan liar, sebagian lahan kritis, longsor, hingga debit mata air makin tipis bahkan sempat terjadi kekeringan.

Sejak itu, sedikit demi sedikit secara rutin, Sadiman menanam beringin di bukit itu. “Saya sampai nyogok mandor penyadap pinus agar boleh menanam beringin. Saya tukar benih cengkeh dan jati dengan benih ringin.” Ia pernah pula membarter lahan untuk menanam beringin dengan dua kambingnya.

Hingga kini, Sadiman masih setia ke  hutan. Jam empat pagi, Sadiman bangun. Setelah memberi makan 10 kambing dan dua ayam, ia ke sawah. Ia punya sawah sekitar 9.000 meter persegi. Pulang untuk sarapan, sekitar jam delapan ia ke hutan sampai tengah hari. Saat sore, kadang ia ke hutan lagi hingga jelang magrib.

Sadiman kini hidup berdua dengan sang istri, Wagiyem. Dua putri mereka, Pujiati dan Riswanti,  ikut sang suami ke Surabaya dan Nganjuk. Putri keduanya seorang guru tidak tetap yang telah bekerja selama sembilan tahun. Menantunya, kata Sadiman, satu tak bekerja, satunya lagi tukang kebun. Mbah Sadiman dikaruniai dua cucu balita.

*

Saya baru melihat menu sarapan seperti santapan Sadiman pagi itu: mendoan dicelup teh manis hangat. Tanpa secuil nasi, ia lalu mengantungi seplastik tembakau dan menyandang arit. Sadiman melompat tanpa alas kaki, mengajak saya ke Bukit Gendol.

Bukit Gendol yang telah dihijaukan Sadiman ditaksir seluas 20 hektar dari total 600-an hektar kawasan hutan itu. Ia sendirian bertahun-tahun menanam benih-benih beringin kendati tanaman ini tak menghasilkan buah atau bunga. Namun, pohon ini amat bagus untuk memperkuat tanah mempertahankan air tanah.

Sekitar satu kilometer berjalan kaki dari permukiman, ada gubuk kecil dengan poster Sadiman dan coretan nama komunitas yang pernah singgah. Gubuk ini dijadikan pos awal untuk menyusuri Gendol. Dari situ kami mendaki. Jalurnya hanya berupa tanah yang dibentuk anak tangga. Sadiman menyebutnya ”1001 anak tangga”.

“Hari ini mau membersihkan sama bikin lagi tangga yang rusak karena diinjak-injak,” Sadiman membuat rencana.

Perjalanan lumayan sukar. Tanjakan curam. Beberapa titik licin karena basah sisa hujan semalam. Di beberapa titik, Sadiman berhenti. Ia melongok beringin-beringin muda usia tiga tahun setinggi perutnya yang dikerubuti semak-semak. Sadiman segera membabat semak itu.

“Saya ndak ngeluh, meski semangat saya tidak ada yang ngerti, malah disebut orang gila,” kata Sadiman. Predikat seperti ini memang dilontarkan beberapa orang di sekitarnya melihat upaya membudidayakan beringin yang tak menghasilkan apa-apa itu.

Selain hafal posisi beringin yang dia tanam, Sadiman juga memberi tanda: tak jauh dari beringin diberi tanaman andong berdaun merah. Alhasil, jika tumbuh dengan baik, beringin itu tampak dari kejauhan karena merahnya andong.

Setelah puluhan langkah, dia berhenti lagi untuk membentuk tanah hingga mirip  tangga setelah nyaris rata. Jika dia pengin cepat, langkah Sadiman lebih lebar, dengan sekali langkah dapat dua anak tangga. Di usia senja, sepanjang pendakian ia  tampak bersemangat dan tak terdengar ngos-ngosan. Sadiman justru tak henti bercerita.

Pada 1960-an, hutan Gendol terbakar sampai tiga kali. Hutan itu jadi gundul. Sumber mata air menipis. “Kalau musim hujan, banjir kayu dan longsor.” Saat itu, ia terpikir menanam beringin demi untuk membesarkan mata air. “Beringin cepat gede, gampang rawatnya, dan enggak bakal kena illegal logging.”

Kurang dari sepertiga perjalanan menuju puncak Gendol, di lembah sisi kiri, 50-an pohon beringin berdiri  tak kalah tinggi dari pinus. Sadiman menanam beberapa jenis beringin, seperti dikenal warga setempat dengan berbagai nama: ringin, apak, ipik, dan bulu. Totalnya 4.500-an pohon.

Sampai di atas, Sadiman duduk di gubuk kecil buatannya. Di samping gubuk, berkibar bendera putih diikat di tiang. Ia mengeluarkan tembakau, meracik rokok tingwe alias linting dewe. “Jangan difoto kalau pas ngerokok,” kata pria yang mengaku tak punya keluhan kesehatan sama sekali ini. “Ndak boleh katanya.”

*

Lahan di puncak Gendol berupa tanah datar sekira 2.000 meter persegi. Sadiman membelinya dari warga seharga Rp300.000. “Dari uang salaman, istri jangan sampai tahu,” kata dia, terkekeh, merujuk pada uang bayaran sebagai pembicara peraih Kalpataru.

Rumput dibersihkan sampai tempat itu mirip lapangan. Warga, remaja, dan anak-anak boleh pakai cuma-cuma untuk nongkrong atau kemah. Sadiman berinisiatif membikin toilet kecil tapi alat-alatnya hilang entah ke mana.

Sadiman bercerita, daerah itu dinamakan Gendol karena ada batu yang gendol-gendol, menggelantung, nyaris  jatuh, jika dilihat di satu sudut dari sisi bawah bukit. “Di sekitar sini sering ketemu celeng (babi hutan-Red), kalau macan cuma jejaknya,” tambah dia.

Dari Gendol, tampak bukit yang lebih tinggi, namanya Bukit Mendut. Konon, itu lokasi bertakhta makhluk halus. Sadiman pernah menjajal tidur di sana, lalu ada suara membangunkan, padahal tidak ada siapa-siapa.

Selain itu, ada bukit lain seperti Ampyangan, Bantengan, Menjangan, dan sekitar selusin lokasi lain di hutan itu. Semua punya cerita asal-usul nama dan semua pernah dirambah Sadiman. Khusus untuk bukit Gendol dan sekitarnya yang jadi lokasi Sadiman menanam beringin, sejumlah komunitas mengusulkan nama Hutan Sadiman.

Perbukitan ini bagian dari Lawu selatan, berbatasan dengan Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Sejumlah cerita mistis menyelimuti kawasan ini. “Kalau tahu lokasi itu wingit (angker), saya ndak takut, tapi malah ngulur (menanam) ringin di situ, karena ndak bakal dirusak. Orang-orang takut ke situ.”

Hutan ini di bawah wewenang Perhutani. Namun, secara ilegal sejak masa reformasi, sejumlah mandor Perhutani menyewakan lahan pada warga untuk ditanami rumput. Orang-orang bebas mendaku sebanyak-banyak bidang, tanpa ukuran pasti. Setiap bidang ditarik Rp50.000 per bulan.

Menurut Sadiman, praktik tersebut sudah berhenti setelah pada satu forum dengan Perhutani, usai pemberian Kalpataru, ia minta kewajiban setor itu disetop. Namun, penguasaan lahan untuk mencari rumput masih berlangsung. Kira-kira ada 500 orang perumput di Geneng.

Jika sudah tumbuh, rumput ini dituai terutama untuk pakan. Saat ini harganya Rp50.000 per pikul, bahkan lebih tinggi jika masuk musim kemarau. Sepanjang perjalanan di Gendol dan kawasan hutan ini, kami memang kerap berpapasan dengan para pengambil rumput. Ada yang mengendarai motor, tapi banyak juga yang berjalan kaki, termasuk ibu-ibu tua.

Nah, jika beringin tumbuh di bidang yang dikontrakkan untuk para pencari rumput, seringkali beringin Sadiman dirusak. Jika masih kecil, beringin diangkat hingga jebol akarnya. Menurut mereka, jika beringin terus tumbuh, rumput tak bisa besar.

“Dampak air mboten pilih-pilih. Bukan hanya orang, tapi semua umat, termasuk hewan, juga butuh air,” papar Sadiman.

Menuruni bukit Gendol tak lebih mudah daripada mendakinya, terutama jika mencari rute singkat. Dari pos awal, mengitari bukit Gendol jauhnya tak kurang dari dua kilometer. Tiba di sisi lain lereng bukit, satu jalur dengan para pencari rumput, kami menuruni sisi bawah.

Dengan gemuruh suara arus yang terdengar makin jelas, sungai kecil Kali Arang pun tampak mengalir deras di bawah sana. Saat itu, aliran tergolong besar karena hujan semalam. Sadiman mengajak menyeberangi sungai selebar dua meter itu. Dalam sungai saat itu selutut.

Keluar dari air, lintah-lintah kecil menempel di betis Sadiman. Demikian pula saya. “Kalau lintah itu biasa. Tantangannya hujan deras dan angin, takut longsor atau kayu rubuh.”

Sekitar 30 meter di depan, di antara lereng penuh semak, alang-alang, dan pinus, berdiri tak kurang seratusan beringin. Diameternya kecil namun tingginya menjulang. Daerah ini  lokasi 18 beringin awal yang ditanam Sadiman pada 1990-an. Mayoritas mati, tinggal sisa dua batang dan Sadiman kembali menanam.

Dari titik ini, mengikuti jalur pencari rumput, pos awal dicapai dengan berjalan kaki sekitar setengah kilometer. Sadiman mengajak lagi berjalan kembali ke arah kampung. Di satu tikungan rumah warga, ia menunjukkan bak penampungan air.

Sumber mata air di sekitar Kali Arang tadi—yang gerojogannya tambah besar karena penanaman beringin Sadiman—mengalir ke bak ini. Bak ini dibuat pada 1981; pipa-pipa besinya telah berkarat. Namun, di sebelahnya ada pipa-pipa baru untuk mengakomodasi debit air tambahan.

Di bak ini, ada pipa-pipa kecil yang menunjukkan sambungan ke tampungan kelompok warga. Pipa dan sambungan tersebut berkelindan dari bak ke rumah-rumah warga. Dari bak ini saja, air mengalir untuk 340 rumah di dua desa, Geneng dan Conto.

Ada dua penampungan untuk kelompok warga lain. Kadang warga mengambil air tanpa bilang-bilang. Bahkan ada warga bermodal paralon membongkar sambungan saluran air untuk membuat saluran air  baru entah ke mana.

Menurut Sadiman, sekitar 900 rumah teraliri air berkat penghijauan di Gendol. “Dampak air mboten pilih-pilih. Bukan hanya orang, tapi semua umat, termasuk hewan, juga butuh air. Selain minum, untuk sawah. Dulu saya mau sebulan ditarik Rp500, ada yang protes. (Padahal) itu untuk perawatan, membenahi paralon lepas. Tidak mau, ya sudah.”

Sadiman mendengar ada beberapa rencana pengelolaan air  di sekitar Gendol. Ia setuju rencana embung yang tak terlalu tinggi, sekitar tujuh meter, namun menolak jika dibuat sumur bor. Toh semua belum terealisasi. “Pasti tidak ada gini-nya,” kata dia menggesekkan jari telunjuk ke jempolnya berulang-ulang.

*

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Wonogiri Toetik Indriati tampak enggan menanggapi kiprah Sadiman dan langsung mengoper ke anak buahnya. “Yang dilakukan Mbah Sadiman itu prosesnya lama,” kata Toetik alakadarnya, sambil tak henti mengelap kacamatanya pada Jumat pagi itu. Stafnya menyebut Toetik baru menjabat di posisinya.

Kepala Bidang Pembinaan DLH Wonogiri Konfrontindo Febianto tampak antusias mengomentari Sadiman, meski tak bisa bicara detail. “Dia pionir, pelopor, mau bekerja sendiri waktu Geneng sulit air. Sekarang air melimpah. Gerakan beliau direplikasi, melebar, menjadi gerakan bersama,” komentar Febi, tanpa menunjukkan data yang pasti.

Namun, Kepala Seksi Peningkatan Kapasitas DLH Wonogiri Sri Suharyanti, anak buah Feby, adalah petugas yang turut menemukan Sadiman. Saat proses Kalpataru, dia menjaring informasi kader lingkungan dari para camat. Dari Bulukerto, ada laporan kiprah Sadiman menghijaukan bukti Gendol.

Yanti turun ke lokasi pada 2014, didukung oleh Camat Bulukerto, Bahar. Menurut Bahar, upaya tersebut dapat mengembangkan kawasan hutan yang dihijaukan Sadiman.

Petugas dinas mengumpulkan data, melaporkan ke tingkat kabupaten, dan ternyata Sadiman juara. Sejak itu, media  lokal mulai mengekspos perjuangannya. Apalagi ketika Sadiman maju ke tingkat propinsi dan puncaknya memenangi Kalpataru di level nasional. “Dulu diece (dihina-Red) gila, sekarang setelah populer ya (penerimaan warga) bagus,” ujar Yanti.

Ketika itu, upaya Sadiman dibantu Yusanto, guru SDN 2 Geneng. Sejak 2002, setiap hari dia berkendara 5-6 kilometer dari rumahnya ke desa itu untuk mengajar. Dari situ dia kenal Mbah Sadiman. Yusanto penyuka tanaman. “Waktu itu lagi heboh gelombang cinta,” kata pria yang juga berjualan sate ini.

Yusanto ingin mengenalkan Mbah Sadiman layaknya Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. Langkah ini akan sepaket dengan upaya mengenalkan Geneng sebagai desa wisata, seperti membuat pasar rakyat dan ritual merti desa, kendati tak ada tradisi ini di sana.

Belakangan Sadiman dan Yusanto bersimpang jalan. Sementara Sadiman ingin meneruskan saja ikhtiarnya selama ini, Yusanto ingin memperluas area penghijauan dan melibatkan warga desa mengelola tanaman bantuan dari berbagai pihak.

Menurut wartawan Suara Merdeka di Wonogiri Yogi Putranto, setelah menerima Kalpataru Sadiman tetap istikomah menghijaukan kawasan itu. “Dari dulu, aktivitasnya memang sendiri. Setelah populer, banyak komunitas yang mengikuti,” kata Yogi yang sudah mengikuti kiprah Sadiman sejak 2015.

Ia melihat, pemerintah kabupaten melibatkan Sadiman dengan  sekadar mengundangnya sebagai narasumber atau pembicara di forum lingkungan dan motivasi. Padahal, potensi daerah setempat dapat lebih dikembangkan, misalnya menjadi agrowisata. “Mestinya ada pendampingan, ada support, dan diarahkan ke mana,” kata dia.

Sejak nama Sadiman populer karena menerima Kalpataru, banyak pihak menyumbangkan bibit tanaman ke Geneng. Bukan hanya beringin, tapi juga tanaman produktif seperti buah-buahan. Sayangnya, Sadiman tak punya catatan, minimal buku tamu, yang mendokumentasikan sumbangan pohon dan alokasi penanamannya.

Meski sadar pentingnya para penerus, Sadiman juga tak punya komunitas yang mendukung dan mendampinginya secara kontinu. Ia merasa cukup dengan bantuan komunitas motor CB beranggota 30 orang yang telah beberapa kali datang ke Geneng sebagai relawan penanaman pohon. Satu anggota komunitas itu bermukim di Geneng dan konon siap datang sewaktu-waktu.

Sadiman juga cenderung menampik inisiatif pihak lain, seperti warga desa dan pemerintah. Misalnya, saat ada ide mengalokasikan bantuan pohon dan bibit ke lokasi lain, seperti di kawasan sekolah, bukit, dan wilayah di luar Desa Geneng. Ikhtiar pelestarian alam di Geneng dianggap sudah cukup dan perlu diperluas. Apalagi, bantuan yang diterima mencakup bibit-bibit tanaman produktif yang perlu dikelola secara lebih baik.

Namun, Sadiman ingin bantuan bibit dan perawatan pohon tetap melalui dirinya. Ia tetap menanam bibit-bibit itu di kawasan bukit Gendol dan ia rawat sendiri. Satu-satu.

Mungkin pembawaan Sadiman, apalagi  dalam menghadapi kerasnya hutan Gendol sendirian hingga usia senja, tanpa figur yang bisa diajak bertukar pikiran, menjadikan kakek ini keras kepala merawat hutan dengan caranya sendiri.

Usai menyeberangi Kali Arang, Sadiman melepas tiga lintah di kaki saya. “Saya gak mau mencarikan  makan pejabat. Pemerintah punya pikiran atau tidak, terserah. Saya sudah perhatian pada pemerintah, pemerintah harusnya tanggap, perhatian, pada saya. Orang sini susah. Masyarakat juga enggak mau kalau enggak ada uang,” ujar dia setelah kami menepi.

Tangannya yang kokoh lantas memijat punggung saya. ***

Leave a Reply