PanaJournal – Barisan batu putih berbukit ditambang dengan cara konvensional. Arsitektur batuan-batuan menjulang tinggi. Beginilah lanskap indah menyimpan cerita manusia menyambung hidupnya.

Dalam perjalanan menuju ujung pulau Madura untuk mencari pantai sepi dan bersih, saya dan dua orang kawan beruntung menemukan lanskap yang sangat indah: Bukit Kapur, atau lebih terkenal dengan sebutan ‘batu putih’, yang terletak di kecamatan Batu Putih, Sumenep, Madura.

Bukit ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari wisata pantai Slopeng, kecamatan Dasuk, 21 kilometer dari Pusat Kota Sumenep. Jarak tempuh menggunakan kendaraan sekitar satu jam, dengan pemandangan pesisir pantai utara Madura.

Ada kegiatan di sekitar tambang tersebut. Beberapa pekerja tampak asyik mengayunkan pacul dan sekop. Kami menemui tiga orang penambang; mereka warga sekitar yang hidup dari menggerus tambang. Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, minimal terdiri dari tiga orang.

Setiap hari mereka bisa menghasilkan dua truk besar batu putih untuk dijual ke pengepul di Sumenep. Satu truk diisi sampai dengan 2.000 buah, dan dihargai sebesar Rp200.000—belum dipotong alokasi “uang keamanan”.

Rata-rata, para penambang membawa pulang sekitar Rp60.000-Rp70.000 per hari. Jumlah yang tak seberapa, dibandingkan dengan risiko pekerjaan yang mereka jalani, apalagi melihat minimnya peralatan keselamatan kerja. Bahkan, bisa dibilang hampir tidak ada peralatan keamanan sama sekali.

Kecamatan Batu Putih menjadi penghasil batuan putih terbesar di pulau Madura. Dilihat dari sisi kekuatan, batu putih tak kalah dengan batu bata. Harganya juga relatif lebih murah. Tambang ini lalu menjadi salah satu lahan mata pencaharian masyarakat sekitar.

Ketika musim penghujan datang, tambang menjadi sangat licin dan berbahaya. Para penambang biasanya beralih ke pekerjaan lain untuk sementara. ***

Leave a Reply