PanaJournal – Bulu Mata memenangkan Piala Citra 2017 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik. Tonny Trimarsanto merekam kisah tujuh orang transgender di sebuah salon kecantikan di Bireuen, Aceh.

Saya sedang naik bus di Bali ketika mendengar kabar Tonny Trimarsanto menang Piala Citra. Melalui WhatsApp, saya sampaikan selamat atas kesuksesan Bulu Mata menyabet penghargaan Piala Citra sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2017. Penghargaan itu diumumkan di Grand Kawanua International City, Manado. Kami lalu membuat janji temu.

Tak disangka, kami justru berpapasan di terminal kedatangan Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Saat sedang menunggu bagasi, Tonny memuji keberanian Dewan Juri. “Isu sensitif macam transgender ini langka diangkat dalam wilayah yang lebih tinggi, seperti FFI. Ini penting dalam perjalanan festival dan film dokumenter di Indonesia,” kata dia.

Tonny tinggal di Perumahan Griya Prima, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten. Kediaman yang disebut sebagai Rumah Dokumenter itu sekaligus tempat Tonny memproduksi serta membagikan ilmunya bagi sineas muda untuk membuat film- film dokumenter.

Kami dipersilakan duduk di teras rumah berupa bangunan pendopo Jawa dengan kursi beranyaman rotan. Tonny membuka percakapan dengan menyuguhkan kopi arabika Toraja. Saya mengeluarkan rokok. Tonny sudah sembilan tahun berhenti.

“Kepercayaan bahwa merokok dapat memberi inspirasi dan konsentrasi menulis naskah film itu hanyalah mitos. Soal kebiasaan saja,” katanya, seraya menjulurkan sebuah asbak.

Sejak awal, Tonny senang memilih tema tentang minoritas untuk film-filmnya. Sebelum Bulu Mata, Tonny  sudah pernah membuat film bertema transgender berjudul Renita, Renita (2007) dan sekuelnya, Mangga Golek Matang Pohon (The Mangoes, 2012).  Barangkali itulah mengapa Suara Kita, sebuah organisasi di Jakarta yang fokus pada isu keberagaman seksualitas dan identitas gender, mendatanginya.

“Jadi film Bulu Mata ini diproduksi oleh Rumah Dokumenter dan Suara Kita. Saya hanya membantu teman-teman yang memang punya persoalan dan kampanye tentang hak- hak minoritas,” jelas Tonny. Karena keterbatasan dana, Tonny melakukan semuanya sendiri. Syuting sendiri, bawa lampu sendiri, nge-sound sendiri, tinggal di sana sendiri.

Menurut sineas kelahiran Klaten, 47 tahun silam, riset menjadi faktor pertaruhan bagi pembuat film dokumenter. Pasalnya, menemukan dan mencari bahan cerita dari subyek dengan kadar konflik persoalan yang unik dan istimewa terkadang sulit.

“Saya pernah datang dengan tujuh orang kru di Meulaboh, Aceh saat tsunami. Fasilitasnya sangat minim, mengontrak rumah Rp 30 juta per bulan. Selama empat hari pertama, saya enggak dapat menemukan karakter yang sesuai kebutuhan. Nah, proses riset, seleksi peristiwa, sejarah, maupun subyek dalam film dokumenter itu penting,” ungkap Tonny.

Di kota Banda Aceh, Tonny sebelumnya juga pernah membuat film dokumenter panjang berjudul Serambi (2006). Namun, para transgender di Banda Aceh ternyata berasal dari berbagai kabupaten. “Karena waria- warianya datang dari banyak kabupaten seperti Bireuen, Meulaboh dan dari mana- mana, lebih susah untuk dikoordinasi,” paparnya.

Tonny lantas melakukan riset di Bireuen yang berjarak tempuh sekitar 4 – 5 jam dari Banda Aceh. Dia berjumpa dengan komunitas transgender yang lebih solid. Komunitas terdiri dari tujuh orang itu dalam kesehariannya tinggal di sebuah rumah kost sekaligus mengelola salon kecantikan.

Dibandingkan pembuatan film Renita, Renita, lulusan ilmu politik Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini mengaku proses membuat film Bulu Mata lebih mudah. Dia tinggal memanfaatkan jaringan Suara Kita di Aceh. Saat menggarap Renita, Renita dia harus menembus komunitas transgender sendirian, hingga menemukan sosok Muhammad Zein Pundagau alias pemeran Renita.

Hujan semakin deras. Sineas yang mengawali karirenya sebagai periset visual untuk sejumlah film besutan Garin Nugroho ini lantas mengajak kami naik menuju lantai dua. Dua buah gitar listrik, rak berisi tumpukan buku-buku sosial politik, sejumlah pigura bergambar sampul- sampul judul film dan berbagai piagam penghargaan menghiasi dinding batu bata merah tanpa plester. Terselip juga piala berbentuk monumen tegak lurus keemasan dengan emblem bundar bertuliskan “Citra” di sudut meja ruangan.

“Durasinya 61 menit. Enggak apa- apa kan, sampai larut malam?” Tonny menyalakan layar komputer. Kami menonton film yang dia kerjakan selama 1,5 tahun, bolak-balik Klaten- Bireun tersebut.

Bukan melulu seks

Adegan pembuka film Bulu Mata merekam percakapan dua orang transgender pergi ke pasar. Mengenakan kaos, celana panjang ketat, dan selendang pengganti jilbab, kedua orang itu sempat diteriaki ‘Enggak berguna, dipotong saja pakai parang! saat membeli ikan. Teriakan itu tentu saja tentang penis mereka.

Para transgender di Bireuen mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Mereka dianggap menyimpang dari kodrat karena terlahir dalam fisik laki-laki namun kepribadiannya lebih cenderung perempuan. Kondisi tersebut digambarkan dalam potongan- potongan wawancara, termasuk mendatangi salah seorang ibu dari keluarga transgender.

“Mereka mengalami kekerasan di ruang keluarga. Diusir, dicambuk, mau dibunuh, itu sudah biasa. Ada juga pihak keluarga yang seiring berjalannya waktu mau memahami orientasi seksual anaknya. Karena bagaimana pun dia adalah darah dagingnya,” ujar Tonny, seraya menyebut rata- rata transgender tidak senang dipanggil dengan nama aslinya.

Salon sekaligus tempat kost ketujuh transgender tersebut tinggal memang menjadi sentral Tonny dalam film Bulu Mata. Dia bahkan tidak menyangka, pendapatan salon kecantikan tersebut bisa mencapai Rp 20 juta per bulan. Keterampilan mereka memotong dan menata rambut hingga mendapat pesanan merias wajah pengantin di sebuah hajatan terekam dalam kamera.

“Secara geografis, lokasi salon itu strategis karena di tengah kota. Masyarakat tahu salon itu seperti apa,” beber Tonny. “Tidak hanya cowok- cowok yang sering nongkrong, tapi ibu- ibu sampai perempuan muda di sana mau datang karena merasa puas hasil tata riasnya.”

Meski kaum transgender di Aceh rentan mengalami diskriminasi, Tonny mengaku tidak mengalami kendala selama membuat film Bulu Mata. Dia leluasa bergerak merekam secara intim seluruh aktivitas tujuh orang transgender di Bireuen itu dengan satu kamera SLR Canon 5D. Sedangkan satu kamera Go Pro lainnya dia gunakan untuk standby selama menginap di rumah sekaligus salon kecantikan mereka.

“Di film itu mereka ngomong pernah kena razia, iya. Tapi mereka sudah tahu jam-nya. Ketika saya syuting di sana senang- senang saja, aman- aman saja. Apalagi orang zaman sekarang sudah tidak risih dengan kamera foto. Kalau pakai kamera video yang gede, malah repot,” kata dia.

 

 

Tonny tidak pernah digrebek maupun dikejar-kejar Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariah selama tinggal di Bireuen.

Perjalanan Tonny mengikuti aktivitas para transgender asal Bireun itu berhasil pula merekam interaksi dengan warga sekitar. Mereka hidup normal seperti orang pada umumnya, seperti ikut membantu memasak saat ada pesta ulang tahun, hingga bermain bola voli bersama pelanggan salon.

Mereka juga pernah menitipkan kunci salon kepada tetangga saat hendak menumpang bus malam untuk mengikuti kompetisi fashion show di kota Medan, Sumatera Utara. Begitu tiba di lokasi acara, terlihat kemeriahan puluhan transgender berlenggak- lenggok di atas catwalk dengan teriakan dan tepukan tangan dari penonton.

“Teman- teman transgender ini kalau mau ikut kontes fashion harus ke Medan. Di Aceh enggak mungkin ada fashion show. Itu bagian dari kepuasan mereka,” kata Tonny.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Vinisa Nurul Aisyah, menilai film dokumenter Bulu Mata menampilkan realitas kehidupan transgender yang berbeda dengan stereotype masyarakat yang terpengaruh framing media.

“Artinya, ada pesan bahwa transgender dan masyarakat umum bisa kok, hidup berdampingan. Bahkan di Aceh yang punya hukum Islam,” kata dia.

Dari kacamata politik, sambung dia, film Bulu Mata menghadirkan bagaimana tekad seorang transgender selama 9 tahun untuk diakui keberadaannya di depan negara lewat usaha mereka mendapatkan KTP. Sisi manusiawi dari transgender juga dieksplor dari wawancara tentang perasaan mereka yang selalu dipandang sebelah mata tapi mereka tetap coba untuk jadi manusia yang ‘baik’ dengan tidak membenci masyarakat.

Ketika proses draft editing atau pasca produksi film Bulu Mata hampir rampung, Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui Dinas Syariat Islam setempat menerbitkan surat imbauan bernomor 451.4/159/2016 tentang larangan pemilik salon dan tempat pangkas rambut mempekerjakan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada 7 Maret 2016.

Peraturan tersebut pada intinya tidak boleh mempekerjakan transgender di dalam salon. Kemudian, perempuan tidak boleh datang ke salon yang dikelola oleh transgender. Padahal salon itu adalah tempat mereka bekerja, tempat tinggal, sekaligus rumah singgah bagi transgender perantauan maupun yang datang dari luar Bireuen.

“Banyak sekali tekanan yang luar biasa mereka alami seperti susah mencari KTP. Hak- hak mereka sangat tersudutkan. Dengan adanya aturan itu, sekarang mereka memang lebih berhati- hati dalam menerima tamu dan lain-lain,” kata Tonny.

Citra Divo, seorang transgender asal Aceh, juga mencemaskan peraturan ini. Karena masih tinggal di Aceh dan berasal dari keluarga Islam, mau tidak mau dia menyetujui peraturan tersebut. Dia hanya mempertanyakan apakah hukum tersebut berlaku untuk perbuatan yang melanggar, ataukah identitas LGBT itu sendiri?

“Citra seorang waria dan teman teman di belakang Citra adalah waria dengan ekspresi perempuan. Masyarakat dan pelaku Qanun Jinayah bisa melihat kami sebagai waria yang harus dicambuk dan diusir dari Aceh. Ini yang membuat saya tidak setuju,” kata Citra dalam acara peluncuran film Bulu Mata di Pusat Kebudayaan Perancis (IFI), Jakarta, seperti diunggah akun YouTube Suara Kita.

Rosmawardani, Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh (sekarang menjabat Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh), juga hadir dalam diskusi tersebut. Menurut dia, kaum transgender dapat melindungi diri dengan memastikan penampilan mereka tidak berlawanan dengan adat dan budaya Aceh yang kuat. Mereka yang diganggu pastilah berpenampilan tidak pantas.

“Kalau sudah memilih jadi perempuan, maka berpenampilanlah seperti perempuan,” nilai Hakim Rosmawardani.

Terbitnya peraturan itu menjadi salah satu alasan Tonny untuk tidak memutar film Bulu Mata di Aceh. Film hanya ditayangkan di komunitas- komunitas secara terbatas. Bahkan setelah menyabet Piala Citra, dia menghapus trailer film Bulu Mata yang sempat diunggah ke YouTube. Demi aspek etika, sejak awal Tonny ingin film ini diputar terbatas demi keamanan narasumbernya.

Di sisi lain, Tonny tidak mengelak anggapan bahwa film dokumenter adalah tontonan yang serius. Kondisi tersebut disebabkan tradisi film dokumeter di Indonesia yang tidak lepas dari sejarah propaganda. Ada campur tangan penguasa dan beban politik di dalamnya. “Film kan, tafsir. Tetapi ada muatan kepentingannya, iya,” kata Tonny.

Menurut penulis buku “Membuat Film Dokumenter- Gampang Gampang Susah” dan “Renita, Renita: Catatan Proses Membuat Film Dokumenter” itu, cara pandang dalam melihat peristiwa dan mencoba mencari posisi berpihak sangat mutlak dimiliki oleh pembuat fim dokumenter. Si pembuat film tidak bisa mendesain sebuah konflik layaknya film cerita yang menguras emosi atau air mata penonton, namun berdasarkan riset dan fakta.

“Setiap awal membuat film, saya selalu ngomong jujur kepada subyek, ‘saya membuat film tentang Anda. Ini film advokasi menyangkut kepentingan Anda‘. Jadi ketika syuting dengan saya, mereka tahu film ini kepentingannya untuk apa,” ungkap Tonny.

She is a Boy

Malam itu saya berhitung waktu agar Imam Syafi’i tidak ketinggalan naik kereta api ke Jakarta. Pemuda berambut panjang ikal yang 3 tahun silam masih berseragam putih abu- abu ini ternyata masih konsisten menggeluti hobinya di balik kamera.

“Ini saya pulang sekedar cek lapangan. Mengajak 10 anak dari Jakarta yang sudah berangkat dari tadi. Rencananya mereka minggu depan mau saya ajak bikin fim pendek di Klaten tentang prostitusi yang terinspirasi cerita pendeknya Seno Gumira Ajidarma,” ujar Imam, saat ditemui di emperan Stasiun Kereta Api Kota Klaten.

Membuat film pendek berjudul She is a Boy menjadi gerbang bagi Imam untuk lebih menyelami seluk beluk dunia perfilman dengan menimba ilmu di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Film  berdurasi delapan menit tiga puluh detik itu mengisahkan lika-liku kehidupan seorang waria setengah baya yang memiliki usaha salon rias.

Dikerjakan bersama keempat temannya saat masih bersekolah di SMKN 1 Klaten, proses riset dan pengambilan gambar memakan waktu 5 bulan. Inspirasinya datang dari waria-waria yang sering mangkal di kawasan jalan bypass kota Klaten.

“Setiap pulang futsal, kami sering menemui waria- waria itu. Mereka panggil ‘Sayang, sini sayang‘, lalu kami balas menggoda ‘berapaan mbak?’. Karena kami anggap unik, lantas kami mulai pendekatan. Pokok’e nekat,” kata Imam.

Dalam ajang Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ) 2014, Imam tak menyangka She is a Boy terpilih sebagai juara pertama kategori Film Dokumenter. Salah satu jurinya adalah Tonny Trimarsanto. Kepada anak-anak muda itu, Tonny sempat menanyakan alasan mereka berani mengangkat isu transgender dalam sebuah film.

“Hal unik yang ada di sekelilingku itu bernilai emas. Dan orang jarang mengambil konten yang dijauhi masyarakat. Padahal harusnya itu kita dekatkan dan eratkan,” jawab Imam, tentang film pendeknya yang sempat menjadi semifinalis ajang The Emerging Lens Cultural Film Festival di Kanada.

Imam mengapresiasi Bulu Mata menang Piala Citra. Menurutnya, Tonny berhasil merekam percakapan pahit getir kehidupan komunitas transgender bermasyarakat di Bireuen secara intim dengan logat bahasa Aceh. Padahal, sambung dia, secara penggarapan visual maupun sinematografisnya, awam pasti menjagokan film dokumenter Banda, the Dark Forgotten Trail besutan Jay Subyakto.

“Mas Tonny mampu menggunakan bahasa ibu sebagai penguat kontennya, bukan hanya visualnya,” nilai Imam. “Itu sudah menjadi ciri khasnya. Dia selalu mengisahkan hal-hal personal di dekat dia dengan sangat kompleks.”

Setelah Bulu Mata, Tonny kini sedang mengerjakan dua film dokumenter, yakni Nur (tentang pesantren waria di Jogja) dan Bissu (tentang pemuka agama transgender di Bone) yang ditargetkan selesai pada 2018. Harapannya, masyarakat memiliki sudut pandang lain dalam menilai transgender.

Meskipun karyanya sering menghiasi festival film internasional, sambung Tonny, dirinya tak menampik dalam pembuatan film dokumenter terkadang memiliki resiko terhadap keselamatan jiwa. Saat menggarap film berjudul Timor Leste Crisis (2007) yang berdurasi 46 menit, dia bersama para kru khawatir menjadi korban salah sasaran penembak misterius.

Itu lima tahun pasca Timor Leste merdeka. Masih ada sisa konflik di sana. Setiap hari diberlakukan jam malam. Helikopter sering terbang rendah yang dioperasikan oleh tentara Portugal dan Australia. Kalau mau keluar malam harus mengenakan pakaian berwarna gelap karena banyak sniper.

“Sudah resiko profesi. Tapi itu yang membuat saya enggak mengantuk. Kalau enggak ada tantangannya, ngantuk saya,” pungkas Tonny, tertawa. ***

Leave a Reply