PanaJournal – Sudah 30 tahun Berce Hehakaya bekerja sebagai pemikul barang di pasar pulu Saparua. Senjatanya: kayu kering dari pohon sagu alias gaba-gaba.
Saparua, Maluku Tengah. Lelaki tua-muda lalu lalang memikul barang. Mereka keluar masuk pasar, tak memedulikan sengatan matahari yang terik. Para pemikul barang mengangkat dan membawa barang-barang milik pembeli, penjual, dan siapa saja yang membutuhkan.
Sejak jam enam pagi saya sudah mondar-mandir di lokasi pasar tradisional pulu (pulau) itu. Pasar pulu, yang hanya terjadi pada hari Rabu dan Sabtu ini, merupakan sebuah pasar tradisional yang beken. Bukan hanya jadi tempat berkumpulnya orang-orang dari seluruh negeri (desa) di pulau ini, pasar pulu juga didatangi pengunjung dari berbagai pulau lain dalam bentang kepulauan Lease, yaitu Pulau Haruku dan Nusa Laut. Mereka berlayar ke Saparua dan melakukan aktivitas jual beli di sini.
Pasar ini menjadi pusat perdagangan berbagai jenis rempah dan bahan makanan, semisal kenari, kemiri, dan sagu. Untuk urusan dapur, orang-orang Saparua berkecukupan. Kau tahu, mereka memiliki tanah subur yang dapat ditumbuhi jenis tanaman apa saja. Juga alam lautnya memiliki kandungan protein yang kaya. Pasar pulu biasanya ramai hingga pukul satu siang.
Di antara para pemikul barang itu, sesosok lelaki tua tampak mencolok. Awalnya dia hanya mengangkat karung-karung jualan dari area luar pasar ke dalam lapak pasar. Tak lama kemudian, tumang-tumang sagu ke area terminal yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari lokasi pasar, diangkatnya pula. Kuat juga, batin saya.
Tumang merupakan tempat penyimpanan sagu manta (mentah) yang dianyam dari daun pohon sagu itu sendiri. Lelaki itu memikul barang menggunakan gaba-gaba, yakni kayu kering dari pohon sagu. Batangnya kuat dijadikan tongkat yang dikenal dengan istilah ha halang.
Dari seorang mama penjual sagu manta, saya tahu namanya: Bapa Berce. “Beliau sering di sini. Biasa juga angkat barang-barangnya mama,” kata Tin Titaley, sang penjual.
“Bapa Berce paling tua di antara kita, kaka,” kata Muce Parihala, seorang pemikul barang yang masih sangat muda. Muce kebetulan lewat di lapak mama Tin. Sehari-hari, Muce bekerja sebagai penarik kerbau.
Kata Muce, Bapa Berce tinggal di belakang terminal Saparua. “Bapa Berce itu katong sangat hormat di sini,” kata Muce.
Kebiasaan memikul barang sendiri untuk orang-orang Saparua telah terjadi sejak lama. Barangkali sejak awal mula berlangsungnya pasar tradisional tersebut. Saya mencoba mencari tahu kapan persisnya aktivitas pasar ini dimulai, dan menemukan jawaban yang sama dari masyarakat. Sejak dahulu kala.
“Apakah beta bisa bertemu Bapa Berce?”
“Bisa kaka, bisa sekali. Nanti langsung saja ke rumahnya.”
Saat sedang melangkah keluar pasar, secara kebetulan saya berpapasan dengan Bapa Berce. Dia tengah mengaso. Saya segera memperkenalkan diri. Berce Hehakaya bercerita, dia sudah lama sekali kerja jadi buruh pikul barang.
“Sudah tiga puluh tahun,” kata dia. “Umur beta sekarang 73.”
Kami berpisah setelah membuat janji temu pada hari pasar berikutnya. Saya memutuskan pulang ke penginapan.
Hari Sabtu tiba juga. Saya beranjak ke pasar sekitar pukul sembilan. Sebenarnya Bapa Berce mengajak saya langsung ketemu di rumahnya pada sore hari setelah pekerjaan selesai. Tapi saya ingin duduk agak lama di depan pasar, sekadar merasakan “aroma” pasar pulu tersebut. Nanti sore saya akan cari Bapa Berce untuk kemudian pulang bersama.
Di samping saya, seorang ibu ampak asyik dengan dagangannya. Namanya Sarah Latupeirissa. Mama Sarah telah sepuluh tahun berjualan di pasar itu. Kata Mama, dia berjualan pertama-tama bukan untuk mendapatkan penghasilan, melainkan sekadar upaya melupakan duka mendalam setelah ditinggal pergi putri sulungnya. Putri mama Sarah meninggal dunia pada usia yang masih sangat muda, 23 tahun.
“Di pasar, beta ketemu banyak orang sehingga bisa hilangkan stres,” tuturnya. Mama Sarah menjual tomat, lombok, dan berbagai jenis sayuran lainnya. Setiap hari dia duduk berjualan di depan pasar. Mama Sarah tidak terpatok pada hari pasar karena sudah punya beberapa pelanggan tetap. Orang-orang itu mungkin tidak tahu, ketika mereka membeli sayur dagangan Mama Sarah, mereka juga sedang menyelamatkan seorang ibu dari kesedihan.
Sore tiba. Saya segera mencari Berce Hehakaya di seputaran lokasi pasar pulu—tidak ketemu. Suasana pasar amat ramai. Mungkin ada banyak barang yang perlu diangkat. Setelah berkeliling beberapa kali tanpa hasil, saya putuskan untuk datang langsung ke rumahnya.
Di belakang terminal, semua orang kenal Berce Hehakaya, si pemikul barang tua dari Saparua. Namun, orang-orang di sini lebih mengenalnya sebagai Berce Ouw. Rupanya sebelum pindah ke Saparua, Bapa Berce sempat tinggal lama di negeri Ouw. Saya ketuk pintu rumah. Bapa Berce sudah di dalam, bersama istrinya Dolpina Hatu Hehakaya. Rumah mereka mungil, cocok untuk menghabiskan masa tua.
Mama Dolpina kemudian membikinkan saya segelas kopi. “Bapa sudah cerita kalau nyong mau datang ke sini,” kata dia. Mama Dolpina dan Bapa Berce tinggal bersama seorang cucu mereka yang masih SMA.
Menjadi kuli angkut sesungguhnya bukan satu-satunya profesi andalan Bapa Berce untuk bertahan hidup. Dia punya kebun cengkih yang dia garap sendiri. Sesekali dia garap juga kebun-kebun cengkih milik orang lain. “Hampir semua kebun di negeri-negeri di Saparua ini, pernah beta kerjakan,” kata Bapa Berce. Malang, pada 2010 Berce Hehakaya mengalami kecelakaan, jatuh dari pohon cengkih di kebun milik orang. Sejak saat itu, Bapa Berce berhenti menggarap kebun. Dia mempercayakan kebunnya kepada anggota keluarga lain.
Dari hari ke hari, menggarap cengkih semakin sulit. Panenan cengkih tahun ini terbilang gagal. Perubahan iklim tak menentu menyebabkan curah hujan terlalu tinggi. Hasil cengkih dari kebunnya yang tak seberapa itu akan dibagi dua. Sebagian untuk dirinya, sebagian lain untuk orang yang menggarap.
Memang, harga cengkih sekarang terbilang jauh lebih baik daripada periode kelam pada akhir tahun 1990-an. Saato itu, kehadiran Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para petani. Harga cengkih benar-benar turun drastis, dari kisaran dua puluh ribu rupiah menjadi hanya dua ribu rupiah. Sebagian besar petani mengganti cengkih mereka dengan pala dan tanaman-tanaman berumur pendek lainnya, semisal ubi dan berbagai jenis sayuran. Hal ini dilakukan demi memperoleh panenan yang cepat. Bapa Berce juga sempat menebang beberapa pohon cengkih miliknya.
“Dulu, kami bisa panen cengkih sampai berkarung-karung,” kenang Bapa Berce. “Sekarang, tanaman cengkih di dusun sekitar dua puluhan pohon saja.”
Untuk menyambung hidup, Bapa Berce menjelma pekerja serabutan yang andal. “Beta kerja apa saja. Beta seng malu. Intinya halal,” tuturnya sambil tersenyum. Mama Dolpina yang duduk di samping beliau turut membenarkan.
“Bapa ini kerja keras sekali dan tak kenal capek. Dulu, sebelum jatuh dari pohon cengkih, bapa juga sering naik cengkih,” ujarnya.
Sekarang ini Bapa Berce hanya bekerja untuk keperluan sehari-hari saja. Apalagi, kedua orang anaknya juga telah punya pekerjaan tetap dan tinggal jauh dari mereka. Setiap hari dia memperoleh upah di pasar sekitar lima puluh ribu rupiah. Jasa setiap kali pikul pun berkisar antara tiga sampai sepuluh ribu rupiah. Namun, bila yang dipikul adalah tumang sagu, upah yang didapat adalah sepuluh ribu rupiah per tumang.
“Beta seng pernah minta atau tawar harga. Semuanya tergantung kebaikan hati orang yang pakai jasa,” tuturnya. Prinsip Bapa Berce, kerja dulu, rezeki nanti Tuhan yang atur. Jasanya bahkan pernah tidak dibayar sama sekali. “Ada yang bilang bayarnya nanti besok saja atau karena tidak punya uang kecil,” kata dia.
Bapa Berce tak peduli terhadap hal-hal semacam itu. Bagi dia, selama masih bisa hidup dan menghidupi keluarga, maka hidup ini baik saja. “Buktinya, sampai sekarang, beta dan mama masih hidup sehat walafiat.” Bapa Berce dan Mama Dolpina tertawa berbarengan.
Selama tiga puluh tahun mengangkut barang, Bapa Berce menjadi saksi hidup perubahan pasar pulu Saparua. Dulu, barang-barang yang tersedia kebanyakan merupakan hasil alam berharga murah. Sekarang, pasar tradisional itu lebih modern. Kalau kau menyusuri area pasar, berbagai macam barang buatan pabrik dan hasil teknologi berseliweran bebas di sana.
“Segala jenis barang ada, tergantung siapa yang punya uang,” Mama Dolpina menambahkan. Pasar pulu Saparua sendiri telah beberapa kali mengalami rehabilitasi.
Tentu saja kita masih bisa bertanya: apakah masuknya banyak barang dagangan dari luar akan secara perlahan-lahan mengubah pasar ini menjadi sebuah minimarket seperti di kota-kota? Apakah lima atau sepuluh tahun lagi pasar pulu yang tradisional itu tak benar-benar lagi tradisional dan tetap jadi kebanggaan orang-orang Saparua? Apakah orang-orang seperti Bapa Berce bisa menyesuaikan diri guna memenuhi kebutuhan hidupnya?
Tapi kecemasan itu sepertinya tidak ada di benak Bapa Berce. Dengan asyik, dia justru menjelaskan jalinan relasi di antara para pemikul barang. “Kami saling hargai satu sama lain. Kami jarang sekali baku rebut barang untuk angkat,” ujarnya. Memang ada sekitar belasan orang pemikul barang di pasar pulu. Mereka biasa berkumpul bersama di area belakang pasar, dekat turap pinggir laut, dan menunggu panggilan dari para pembutuh jasa mereka. Mereka juga punya beberapa pelanggan tetap.
Sebagai orang yang paling tua dan lama di situ, bapak Berce pun tak mau mengatur-atur pekerja lainnya. Tentang ini, beliau berujar, “Siapa jaga salah hidup, salah sendiri.” Maksudnya adalah berbuat baik saja dan jangan menyusahkan orang lain. Sebab, nanti hidup sendirilah yang akan menjadi hakim bagimu.
Bukti lain dari popularitas Bapa Berce adalah selalu dikasih naik bemo gratis di seputaran wilayah Saparua. “Beta seng malu untuk akui jadi buruh pikul barang, sehingga banyak orang yang kenal beta,” katanya dengan bangga.
Hari sudah semakin sore. Saya pun segera pamit dari rumah Berce Hehakaya. Dalam perjalanan pulang, saya coba mencenungi kembali kata-kata pamungkas beliau dalam percakapan kami tadi. Siapa jaga salah hidup, salah sendiri. ***