Setelah Terpendam 21 Tahun

Saat Motinggo Boesye (1937-1999), yang bernama asal Bustomi Bawasir, meninggal dunia tanggal 18 Juni 1999, ternyata ia telah menulis esai terakhir ini untuk Majalah Berita Bergambar Jakarta Jakarta. Namun Rio, putra beliau, baru menemukannya menjelang—atau setelah—majalah ini tidak terbit lagi sejak akhir 1999—untuk kemudian menyampaikannya kepada rekan I Made Asdhiana yang selalu berhubungan dengan Motinggo. Pengarang terkenal ini memang menjadi kontributor tetap rubrik “Metro Sex” yang dijaga oleh FX Rudy Gunawan.

Mengingat siapa yang menulis, maupun isinya, saya yang juga masih berkantor di situ, menawarkan kepada Kompas edisi Minggu untuk memuatnya. Namun kebijakannya tentu berbeda, sehingga tiada kabar lagi, dan memang saya pun tidak pernah ingat lagi. Saya bersua kembali dengan print out program Wordstar ini, ketika menyeleksi tumpukan berkas menggunung untuk dimusnahkan, pada Agustus 2020 di Institut Kesenian Jakarta. Masih butuh beberapa saat lagi bagi saya, sebelum terletik gagasan kenapa tidak dimuat dalam PanaJournal?

Begitulah nasib tulisan, sama seperti nasib manusia, keberadaannya ditentukan juga oleh berbagai faktor di luar dirinya. Dalam wawancara dengan Antyo Rentjoko dari Jakarta Jakarta, Motinggo mengajukan klaim bahwa istilah “Tante Girang” yang begitu fenomenal pada 1960-1970-an berasal darinya. Istilah itu, bersama “Oom Senang”, merebak bersama menjamurnya klab malam, sebagai penanda Jakarta yang baru, bersama dengan terbukanya Indonesia bagi investasi modal asing pada awal Orde Baru.

Dalam suasana itulah Motinggo “tancap gas” dengan novel-novel pengungkap moralitas serba permisif di sekitarnya, sehingga relevan menyebut dirinya: “Pakar sex” dengan 200-an novel-novelnya—seperti tertulis di akhir esai terakhirnya sebelum meninggal dunia.

 

Seno Gumira Ajidarma

Pondok Ranji, Jumat 21 Agustus 2020. 09:47.

 

 

 

REVOLUSI SEX MILLENNIUM III SANGAT MENGERIKAN

Oleh Motinggo Busye*

 

“But then one is always excited by descriptions of money changing hands. It’s much more fundamental than sex.” (NIGEL DENNIS dalam bukunya,  Cards of Identity, hal. 179.)

 

Enampuluh tiga tahun yang lalu, jauh hari berakhirnya millennium II, pemikir Nigel Dennis sudah meramalkan, jika manusia diminta memilih, tentu ia akan memilih uang, sebab uang lebih fundamental ketimbang sex. Sekarang ramalan itu terbukti. Kini tak sedikit gadis-gadis tak berkeberatan dikencani sampai ke atas kasur seksual, tapi uang harus nomor satu. Walau pun gadis tadi mahasiswi atau masih ABG, dia tak akan takut pada resiko sebab kondom tersedia di tasnya. Yang penting uang, Oom. Tetapi tidak sedikit Oom-oom muda tersebut, yang punya jabatan exekutif tadi, sebetulnya “tidak membahayakan”. Lho! Tentu saja. Mereka tidak mampu berereksi alias nggak bisa bangun. Boro-boro bisa orgasme. Tapi ada di antara oom-oom muda itu kapok dengan para pelacur amatir itu. Mendingan mereka langung pergi ke pelacur profesional. Pelacur prof ini punya keahlian dalam upaya dan “semangat” membuat pria muda itu bisa ereksi hingga orgasme. Konon, yang lebih ahli lagi adalah para banci. Mereka lebih wanita ketimbang wanita, bahkan bisa lebih cemburu ketimbang istri dan pacar anda.

Ini bagian dari revolusi sex, yang di zaman Nigel Dennis mengarang bukunya, belum ngeri seperti ini. Bahkan virus AIDS pun belum ada!

Revolusi sex tidak hanya memberi kondom yang ada cairan. Tetapi berbagai alat kelamin palsu: berbentuk vagina wanita dan penis pria. Lebih dari itu, revolusi sex dikawal pula oleh setan-setan tehnologi. Misalnya punya baterai. Tehnologi membantu vagina palsu itu, bisa ndut-ndutan. Setan tehnologi ini juga bercampur dengan setan budaya, berupa musik dan lagu “hot”, setan sosial di mana tersedia tempat kumpul-kumpul berupa sarana yang menyediakan suasana yang mesum menggairahkan dicampur lampu yang “remeng-remeng”. Mulai dari café, diskotek sampai nightclub. Semua setan ini dipimpin oleh iblis yang bernama “uang”. Tapi di manakah sex berada pada millennium III? Dia cuma “nyempil” di antara setan-setan tadi. Cards of identity (Kartu-kartu identitas) Nigel Dennis berlaku.

Dunia akan menjadi satu. Maka tersebutlah “Kerajaan Seribu Tahun” (atau sebut saja Kerajaan Satu Millennium), di mana iblis dan pasukannya akan menggiring manusia ke lembah hina. Di mana sex ketika itu? Cuma nyempil, karena yang berkuasa adalah setan ekonomi, setan senjata. Dan busa-busa budaya dan mimpi yang mengajak kita untuk kesenangan palsu.

Sex pada millennium III (tahun 2001 sampai tahun 3000) hanya berperan sebagai aksesori. Di mana-mana, budaya doyan obat meraja lela, termasuk obat kuat buat orang-orang muda (dulu di millennium III orang-orang tua) yang kehilangan gairah sex, sebab enerjinya sudah diperas untuk mencari uang. Pada waktu itu, di mana-mana terjadi perang. Perang selalu menyediakan sarana sex pada daerah pendudukan. Ketika uang sulit, sex adalah “alat” bagi tentara pendudukan dengan bayaran tinggi. Ciuman semakin tidak punya peran untuk membangun romantisme cinta. Segala sesuatu terburu-buru. Uang lebih berharga dari cinta. Setangkai bunga mawar yang masih diagungkan pada millennnium II tak tampak lagi. Menurut hemat saya, melihat banyaknya beredar obat bius dan narkotika dengan berbagai nama di akhir abad ke-20, sex menjadi “tak fundamental” lagi. Manusia membuat sendiri kehancurannya. Sebagaimana musik klassik terpinggir, apakah sekarang ini kaum muda masih suka mendengar musik James Last yang lembut itu? Tentu saja tidak lagi, karena musik James Last tidak bisa menghentak-hentak. Tak bisa “Light up the nights”.

Sebagai orang yang pernah memiliki keahlian dalam urusan sex, saya tinggal punya sedikit kawan yang masih bisa ngobrol enak mengenai nikmatnya ciuman bibir, meraba paha dengan perasaan, menikmati pelukan yang nikmatnya selangit.

Revolusi Sex pada Millennium III, hanya menyediakan sarana untuk “membunuh sex”. Pelacur dan para banci akan semakin laku karena menemukan tehnik-tehnik merangsang gairah yang baru bagi para lelaki impoten atau setengah impoten. Jangankan kepekaan terhadap gairah sex, kepekaan rasa untuk menangis saja sudah tumpul. Kalau pada 1000 tahun yang lalu manusia masih punya pendulum sebagai alat pemantau peka rasa, kini alat itu sudah tumpul. Peranan kesalahan gizi makanan besar sekali. Manusia kita kenal dari kartu yang dia kantungi, bukan dari kepribadiannya. Menyusul pula satu pertanyaan: di mana sperma lelaki berada? Sperma lelaki diserap oleh masakan fast-food dan beberapa obat palsu yang tidak berfungsi aktif di sumsum punggungnya dan di kantung pelirnya.***

 

*Penulis adalah “pakar sex” dalam 200 novel-novelnya.

Leave a Reply