PanaJournal — Terpenuhinya infrastruktur dasar seperti jalan raya termasuk kerinduan anak-anak negeri yang ada di sini. Mungkin dengan akses masuk yang baik bisa membantu mereka berangkat sekolah.
Hari terlalu pagi saat saya terbangun. Jarum jam masih di angka lima lewat 30 menit waktu Indonesia bagian tengah. Malam sebelumnya, saya mengunjungi saudari yang menikah dengan lelaki di desa lain. Mereka menetap di Kampung Golo Borong Desa Satar Lahing, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Tujuan kedatangan kali ini untuk meminta dukungan mereka demi menyukseskan acara pengumpulan dana dari salah satu saudara yang akan melepas masa lajang.
Dalam tradisi Suku Manggarai, setiap anak perempuan yang telah berkeluarga memiliki tanggung jawab untuk memberi dukungan berupa uang dan hewan bagi pernikahan dari saudaranya. Pertalian ini berlanjut tanpa terputus, dalam konteks lokal dianalogikan seperti aliran air yang terus mengalir, dua-duanya saling membutuhkan, sebab ada kepercayaan bila sumber kehidupan dari anak perempuan yang telah menikah berasal dari saudara laki-lakinya. Bahkan, anak perempuan yang telah berkeluarga amat mengharapkan agar keluarganya kerap dikunjungi oleh saudaranya, dipercaya dapat membawa rezeki bagi kehidupan mereka.
Sambil menanti tuan rumah terbangun, dengan berjalan kaki saya menjelajah kampung menuju arah utara. Di kampung ini ada 70 kepala keluarga. Mereka bekerja sebagai petani. Ladang-ladang mereka ditanami padi dan jagung, sementara untuk tanaman perkebunan, mereka menanam kemiri dan coklat. Sebagian warganya menjadi pekerja di Pulau Borneo dan negeri Jiran. Hasil dari kerja keras mereka di sana, puluhan rumah tembok terbangun. Perputaran uang di sini turut dipengaruhi oleh kerja keras diaspora yang rata-rata menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Akses masuk ke kampung ini masih buruk. Status jalan desa yang belum terurus dengan serius sangat berpengaruh bagi akses warga untuk keluar dan masuk kampung. Malam saat saya ke sini, saya mengendarai motor dengan hati-hati. Bebatuan yang tak tersusun dengan baik membuat badan semakin letih. Laju kendaraan 20 kilometer/jam. Sesekali saya menurunkan kaki sebagai tumpuan agar kendaraan tetap seimbang. Jarak tempuh dari tempat tinggal saya yang cuma 12 kilometer ditempuh selama satu jam.
Saat tiba di ujung kampung, saya kembali ke rumah. Seisi rumah sudah terbangun. Tujuh menit kemudian, saya diajak untuk menyeruput kopi dan sarapan pagi. Orang Manggarai punya kebiasaan minum kopi yang kuat. Mereka membuka hari dengan kopi, biasanya untuk menutup harinya akan ditemani kopi. Kopi telah menjadi sahabat perjuangan, baik dalam suka maupun duka, lewat kopi berbagai cerita tentang hidup dipercakapkan saat bersua dengan warga yang lain.
Di luar rumah, anak-anak pelajar Sekolah Dasar mulai tumpah ruah di jalanan untuk berangkat ke sekolah. Mereka mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Muku Jawa. Dari kampung mereka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya dua kilometer, hari itu saya akan berjalan bersama mereka, kebetulan saya menjadi salah satu Guru dari anak-anak ini. Kendaraan roda dua yang saya kendarai semalam akan dikendarai oleh suami dari saudari saya untuk dibawa ke sekolah. Tapi saya belum berangkat bersama dengan anak-anak yang sudah ada di jalan, masih menunggu keponakan yang tengah bersiap-siap untuk berangkat bersama ke sekolah.
Setelah keponakan tadi bersiap-siap, kami mulai mengayunkan kaki, sesaat setelah berpamitan dengan tuan rumah. Jam di ponsel saya menampilkan angka tujuh lebih 19 menit, kami berjalan menuju arah selatan. Di jalanan saya berpapasan dengan murid yang lain. Mereka tersenyum sumringah sambil melempar salam.
“Selamat pagi, Guru,” sapa Julio Apong, diikuti oleh empat siswa lainnya.
“Kita berangkat sama-sama ke sekolah,” tanggap saya.
Seratus limapuluh meter dari rumah saudari saya, kami berbelok ke arah timur. Letak sekolah di Kampung Tewuk Desa Satar Lahing, arah timur dari kampung ini. Perjalanan dimulai dengan menyusuri perkebunan kemiri dari salah satu warga. Jalanannya dibuka dengan kondisi yang masih rata, 30 meter kemudian kami melewati jalan menurun. Warga membuat jalan berkelok-kelok, memudahkan pengguna jalan. Kami melewati jalanan di antara bebatuan yang menggantung.
Lima siswa yang berjalan dengan saya tidak saya ajak berbicara, kami sedang melewati turunan dengan hati-hati. Di depan kami ada tiga orang siswi berjalan dengan ritme yang agak cepat. Beberapa kali saya mengingatkan mereka agar tetap hati-hati. Sepertinya mereka sudah terbiasa, makanya ayunan kakinya lebih cepat dari saya yang sebentar lagi menginjak kepala tiga.
Beruntung semesta memihak, kami tiba dengan selamat di Sungai Wae Usang. Setelah memberitahu mereka supaya tetap menunggu, saya membersihkan badan selama lima menit. Debit air di sungai ini mengecil saat musim kemarau, berbanding terbalik bila sedang musim hujan, airnya akan membesar. Kebetulan saat saya berkunjung ke sini sedang musim kemarau, debit airnya mengecil.
Usai membersihkan badan, perjalanan dilanjutkan. Kami meyeberangi sungai dengan bertumpu dari satu batu ke batu yang lain. Kali ini saya mulai mengajak mereka berbicara. Anak-anak ini memiliki latar belakangnya yang berbeda-beda. Ada yang bisa diajak sekali saja untuk berfoto, ada juga yang harus diajak berkali-kali, bahkan ada juga yang enggan menanggapi pertanyaan yang diajukan.
“Kami melewati jalanan ini dengan senang hati,” tanggap Julio Apong.
Setiap harinya anak-anak ini berangkat ke sekolah tanpa memakai sepatu. Mereka hanya menggunakan sandal. Mereka amat menikmati perjalanannya. Di dalam perjalanan tak pelak mereka saling melempar candaan. Hal itu mereka lakukan untuk melupakan sulitnya jalanan yang dilewati.
Sembari berbincang-bincang, kami melewati jalan yang landai. Di antara celah bebatuan tepi sungai, kaki kecil-kecil dari lima anak ini menginjak bebatuan dengan cekatan. Dengan polos mereka menjawab saat diajukan pertanyaan terkait permintaan mereka pada pemerintah.
“Cukup dibangun jalan beraspal atau membangun jembatan gantung,” jawab salah satu di antara mereka.
Terpenuhinya infrastruktur dasar seperti jalan raya termasuk kerinduan anak-anak negeri yang ada di sini. Mungkin dengan akses masuk yang baik bisa membantu mereka berangkat sekolah. Alternatif lain bila pilihan pertama tak terpenuhi, mungkin solusi jangka pendeknya, pemerintah dapat membuat jembatan gantung.
“Kita juga butuh listrik,” tanggap yang lain.
Sampai hari ini seluruh rumah di Kampung Golo Borong belum dialiri listrik dari PLN, padahal lima anak kampung lainnya di dalam desa tersebut telah dialiri listrik. Malam hari untuk penerangan, mereka mengandalkan mesin diesel milik salah satu warga, itu pun tak semua rumah teraliri. Warga lain masih mengandalkan lampu dari cahaya matahari atau menggunakan lampu pelita.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju tanjakan pertama. Di depan kami berdiri kokoh tebing setinggi satu meter. Warga membuat tangga darurat dari kayu. Anak tangganya berjumlah tiga. Anak-anak melewatinya dengan hati-hati, kemudian melewati tanah landai, di sebelah kanannya terdapat jurang yang dipenuhi dengan pepohonan.
Sekitar 20 meter dari tangga pertama, kami melewati dua batu besar. Kami berjalan di antara celah bebatuan tersebut, salah satu batu di kiri jalan memiliki ketinggian sekitar tiga meter. Kami kemudian melewati tebing setinggi lima meter. Di sini warga kembali membuat tangga darurat dari kayu, anak tangganya ada delapan. Anak-anak ini melewatinya dengan santai, sementara saya memasang wajah memelas, takut terjadi sesuatu dengan mereka.
“Hati-hati, jangan terburu-buru,” begitu isi imbaun dari saya.
Tangga kedua berhasil kami taklukkan dengan selamat. Tepat 30 meter di depan kami terdapat batu besar dengan ketinggian tiga meter. Di sini warga kembali memasang tangga, anak tangganya berjumlah delapan. Kami kembali menaklukkannya dengan baik.
“Kalian hebat bisa seperti ini setiap hari,” jelas saya.
“Kita tidak punya pilihan lain,” tanggap Fito Forlan.
Selanjutnya kami melewati jalanan yang landai hingga tiba di sekolah. Saya mulai ngos-ngosan, keringat berkucuran mengantung di wajah semenjak melewati tangga ketiga, sementara anak-anak ini masih terlihat seperti biasanya, seperti tak ada ekspresi lelah dari raut wajah mereka.
Setelah 30 menit berjalan, kami tiba di sekolah tepat pukul tujuh lewat 40 sembilan menit. Jam masuk kelas di pukul delapan. Anak-anak ini langsung bergegas ke kelasnya masing-masing, sementara saya menuju rumah dari seorang Guru untuk bersiap-siap ke sekolah.
Perjalanan yang sama akan dilakukan oleh anak-anak ini setelah pembelajaran dilaksanakan. Mereka pulang dari sekolah di pukul 12 lewat lima menit. Saat di jalan pulang mungkin ada yang kelaparan, karena tak ada rupiah untuk membeli jajan, namun mereka menikmatinya saban hari. Saya sedih melihat perjuangan anak-anak ini, mereka rela melawan lelah demi berangkat ke sekolah, sementara di tengah kita mungkin akses pendidikannya begitu mudah, namun kita memilih untuk tidak serius bersekolah. ***