PanaJournal – Ini adalah cerita tentang belas kasih—jenis rasa yang konon langka ditemukan di rimba ibu kota. Seorang karyawati bernama Juliana menyelamatkan balita Iqbal Saputra dari siksaan sang penculik, Dadang Supriatna, setelah tak sengaja bertemu di halte bus TransJakarta.


UNTUK SAMPAI ke kantornya di daerah Kota, Jakarta Utara, Juliana harus menumpang angkutan umum bus TransJakarta. Pagi itu, di halte Sawah Besar, dia duduk bersebelahan dengan bocah lelaki berusia kira-kira tiga tahun. Anak itu terduduk lemas dalam gendongan seorang lelaki, yang belakangan diketahui sebagai Dadang Supriatna, pacar ibu Iqbal yang menculik dan menyiksa si bocah lantaran dendam. Kasusnya sempat heboh diangkat media pada awal tahun.

Juliana terenyuh melihat kondisi Iqbal yang tampak kepayahan. Di tangan dan kakinya tampak bekas lebam yang sudah membiru. Sesekali balita itu mendesis kesakitan. Juliana memutuskan membuka obrolan dengan Dadang, yang ketika itu mengaku (dan tampak meyakinkan) sebagai ayah kandung Iqbal. Menurut Dadang, mereka datang dari daerah Karawang, Jawa Barat, ke Jakarta untuk mengamen.

“Ngamen kok, bawa anak, Pak?” tanya Juliana.

“Dia ngotot ikut.”

“Anaknya sakit apa?”

“Ini, dipukulin ibu tiri.”

Dadang lalu mengangkat kaus dan celana Iqbal, menunjukkan bekas-bekas lebam yang tampak sudah lama. Selama perbincangan, Iqbal hanya diam sambil sesekali mendesis kesakitan. Tatapannya kosong. Tak ada kata-kata keluar dari mulut si bocah. Saat itu, lidah Iqbal baru saja digunting oleh si penculik.

Juliana melirik jam tangannya, menghitung waktu yang dibutuhkan untuk sampai di kantor. Di hatinya mulai terbersit niat untuk menolong Iqbal dan Dadang. Dia sengaja tak memberi uang karena takut uang itu tidak sampai pada maksud yang sebenarnya, yaitu memeriksa dan mengobati si bocah.

Bus datang. Ragu-ragu, Juliana memasukinya.

“Saat itu, saya masih dalam dilema, menolong atau tidak? Tergoda juga untuk memberi uang saja lalu langsung pergi ke kantor. Tidak perlu takut terlambat. Saya yakin itu yang akan dilakukan sebagian besar orang bila berada dalam posisi saya,” papar Juliana.

Ketika sudah mantap memutuskan menolong Iqbal, Juliana berbalik, tapi Dadang sudah lenyap. Di hati Juliana timbul sebersit rasa menyesal—mengapa ada penderitaan di depan matanya tapi dia tak bisa menolong? “Saya pikir mungkin Tuhan punya rencana lain untuk menolong Iqbal, dan rencana itu tidak melibatkan saya,” kenang Juliana.

Maka alangkah terkejutnya Juliana ketika berganti bus di halte Stasiun Kota, bertemu lagi dengan Dadang dan Iqbal. Kali ini Dadang tampak memamerkan luka-luka di tubuh Iqbal pada sejumlah ibu-ibu yang berkerumun. Juliana makin bingung melihat tingkah Dadang yang menjadikan Iqbal seperti “tontonan berbayar”.

Tiba-tiba Iqbal kejang. Juliana setengah berlari, menghampiri Dadang. Kali ini tekadnya bulat sudah: harus menolong si bocah.

“Pak, anak ini harus ditangani!” Juliana berseru.

“Ah, dia memang biasa begini,” elak Dadang.

Tak peduli dengan tanggapan Dadang yang cenderung datar, Juliana segera keluar dari halte. Ibu-ibu yang berkerumun, bubar. Juliana menyewa sepasang ojek: satu untuknya, satu untuk Dadang dan Iqbal. Dia sempat bingung ke mana harus mencari klinik karena tak begitu mengenal daerah tersebut. Juliana pun menginstruksikan kedua tukang ojek untuk membantunya.

Klinik pertama, tutup. Klinik kedua, antrean praktik dokter terlalu panjang. Saat itu napas Iqbal sudah satu-satu dan dia mulai menangis kesakitan. Juliana panik. Apalagi, kedua tukang ojek tidak tahu lagi klinik atau tempat praktik dokter terdekat. Tapi, Juliana tidak mau menyerah.

“Pak, kita harus cari lagi. Kalau tidak diobati, saya yakin anak ini tidak mungkin bisa bertahan,” kata Juliana, berulang-ulang.

Tukang ojek yang memboncengkannya, heran. “Ibu ngapain rusuh, sih? Emang Ibu siapanya?”

“Bukan siapa-siapanya sih, Pak. Tapi ini kan nyawa, anak kecil pula.”

“Lah itu, Bapaknya kuatir juga enggak.”

Dadang memang tampak tenang-tenang saja.

Di klinik ketiga, Juliana ditolak karena tidak ada dokter anak. Di klinik keempat, belum sempat masuk, suster sudah buru-buru menolak dengan alasan tak punya alat. Juliana sempat ngotot minta bertemu dokter, tapi daripada berlama-lama berdebat dan menghabiskan waktu Iqbal, dia memutuskan mencari klinik lain.

“Saat itu saya dalam hati merasa miris. Kasihan bener nasib ini anak. Sudah luka-luka, giliran ada orang mau tolong pun, jalannya berliku,” papar Juliana. “Tapi itu justru menguatkan tekad saya bahwa dia harus ditolong, bagaimanapun caranya.”

Sampailah iring-iringan ojek di Puskesmas Pademangan. Satpam yang berjaga di pintu depan, sigap menyambut mereka. Iqbal segera ditangani oleh seorang dokter umum bernama Zakia Thalib. Kondisi Iqbal yang kritis dan menyedihkan segera menarik perhatian orang-orang di puskesmas tersebut. Selain lebam-lebam di sekujur tubuhnya, ada juga bekas sundutan rokok di puting susu, gigitan, dan luka karena benda tumpul. Ketika celana bocah kecil itu dibuka, tampak buah zakar Iqbal bernanah sampai terlihat dagingnya.

Astaghfirullahaladzim…” desis Dr. Zakia berkali-kali saat memeriksa bocah kecil itu. Beberapa orang menitikkan air mata karena tak tega melihat kondisi Iqbal yang sangat mengenaskan. Iqbal sendiri hanya mampu menangis kesakitan.

Begitu kejang Iqbal berhenti, Dr Zakia mengajak Juliana berembuk. Ia merasa fasilitas di puskesmas tak cukup untuk mengobati Iqbal. Karena itu, ia minta persetujuan Juliana untuk merujuk Iqbal ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut.

“Ibu ini siapanya?”

“Saya bukan siapa-siapanya, Bu. Hanya mengantarkan.”

“Tapi, Ibu setuju kan, kalau anak ini kita rujuk ke RS?”

“Ambulans itu berapa duit, Dok?”

“Oh, gratis, gratis semuanya.”

“Kalau begitu, langsung bawa saja,” kata Juliana, lega.

Di luar dugaan, Dadang menolak Iqbal dibawa ke rumah sakit. Dia ngotot membawa Iqbal pulang ke Karawang. Juliana, yang berprasangka baik bahwa Dadang sekadar takut uangnya kurang, meyakinkan bahwa semua biaya gratis.

“Bapak enggak ada Jamkesmas?” tanya Juliana.

Dadang menggeleng.

“Mau dibawa ke Karawang saja.”

“Sekarang ibu tirinya di mana?”

“Sudah dipenjara. Ini sudah ditangani sama Polres Karawang, kok,” Dadang terus mencoba meyakinkan.

Saking mengerikannya kondisi Iqbal, semua orang di puskesmas berebutan menanyai Dadang. Di sinilah Juliana mulai curiga karena jawaban Dadang tidak pernah konsisten. Kadang ia menjawab Iqbal sudah disiksa sejak seminggu lalu, kadang dijawab baru kemarin. Tapi, saat itu dia mencoba maklum karena mungkin Dadang memang tak sanggup bercerita secara runtut.

Dr Zakia kemudian mengusulkan agar Juliana menghubungi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk meminta advokasi karena kasus Iqbal sudah jelas terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Juliana keluar ruangan untuk menelepon KPAI. Dari sana dia diinstruksikan untuk membuat laporan ke Polres setempat sesuai prosedur. Setelah kasusnya resmi ditangani kepolisian, barulah KPAI akan melakukan pendampingan tanpa dikenai biaya sedikitpun.

Betapa kagetnya Juliana ketika dia kembali ke ruangan, Dadang sedang menandatangani selembar surat pernyataan. Rupanya, saking ngotot-nya Dadang membawa pulang Iqbal, pihak puskesmas akhirnya menyerah dan membuatkan surat yang isinya menyebutkan bahwa pihak puskesmas tak bertanggung jawab jika ada apa-apa dengan Iqbal, dan tindakan memulangkan Iqbal adalah murni keinginan Dadang sebagai ‘orangtua’.

“Saya kecewa sekali,” kata Juliana. “Saya merasa kasihan dengan Iqbal. Kalau anak ini dibawa pulang, pasti tidak akan dapat perawatan yang layak. Dalam hati saya seperti ada pertanyaan yang berulang-ulang, ‘Kenapa bisa lepas, Kenapa bisa lepas’?”

Tapi semua sudah telanjur. Ketika hendak menandatangani surat pernyataan, Dadang mengaku tidak punya KTP. Juliana semakin curiga. “Pak, kalau ada apa-apa, nanti dikira Bapak lho, yang mukulin si anak. Kita ke polisi saja karena prosedurnya benar seperti itu,” bujuknya.

Dadang diam. Satpam puskesmas lalu berinisiatif membelikan rokok dan makan siang agar Dadang tidak kabur. “Dikasih rokok si Dadang itu anteng,” kata Juliana, yang segera menelepon polisi. Tunggu punya tunggu, polisi tak kunjung datang.

Bagaikan adegan film yang sudah diatur sutradara, di depan puskesmas lewat patroli dari Polsek Pademangan. Juliana dan satpam segera mencegat mereka.

Bripka Putra dari Polsek Pademangan memasuki puskesmas. Dadang langsung terlompat dari duduknya dan cium tangan. Pertanyaan pertanyaan dari Bripka Putra dijawab dengan terbata-bata. Keterangan Dadang makin tak konsisten. Ketika ditanya dari mana Iqbal mendapat luka-luka di sekujur tubuhnya, Dadang menjawab bahwa Iqbal disiksa ibu tiri.

“Di mana menyiksanya? Kapan?” Bripka Putra mencecar.

“Di ruang sidang.”

“Kok bisa menyiksa di ruang sidang?”

“Ngg.. ibu tirinya bilang mau peluk dia untuk terakhir kalinya. Eh, tahu-tahu malah ditendang.” “Terus orang-orang lain diam saja begitu? Tidak ada yang menolong?”

Dadang tidak bisa menjawab. Bripka Putra lalu minta bicara bertiga dengan Juliana dan Dr Zakia Thalib. Satpam diperintahkan untuk menjaga Dadang agar jangan sampai kabur. Bripka Putra menyampaikan kecurigaan dan ingin Dadang dibawa ke kantor secepatnya. Juliana setuju, meski di dalam hati dia masih berpikiran baik bahwa bukan Dadang pelakunya. Apa ada ayah tega menyiksa anaknya sendiri sampai begitu rupa?

Persis ketika mereka sedang berdiskusi, dari kamar terdengar suara jeritan dan tangis Iqbal. Rupanya Iqbal sudah tak kuat lagi menahan sakitnya. Belakangan di RSUD Koja, Jakarta Utara, baru ketahuan bahwa tangan Iqbal patah di dua tempat. Dan yang mematahkan tangan si bocah tak lain dan tak bukan adalah Dadang sendiri.

Berdasarkan penelusuran polisi, pernah ada pelapor yang melihat Dadang tengah mengancam Iqbal di depan WC umum. Saat itu Iqbal sedang menangis tersedu-sedu. “Mau diem nggak? Kalau nggak diem, dipatahin nih tangannya,” ancam Dadang. Si pelapor terkejut ketika Dadang sungguh-sungguh mematahkan tangan Iqbal, bahkan sampai dua kali. Malang, saat tiba bersama polisi, Dadang dan Iqbal sudah lenyap.

Dadang segera dibawa ke kantor Polsek Pademangan dan Iqbal dirujuk ke RSUD Koja. Juliana ikut ke kantor polisi untuk memberi kesaksian. Bripka Putra sempat mau memukuli Dadang agar mengaku, tapi dicegah oleh Juliana. Dia takut kasus ini justru berkembang jadi salah tangkap. Beres memberi kesaksian, Juliana tetap masuk kantor seperti biasa. “Untung bos saya tidak pernah rese bertanya-tanya dari mana saja saya sampai terlambat setengah hari,” Juliana terkekeh.

Dia memang tak menggembar-gemborkan tindakannya membawa Iqbal ke puskesmas. Ibu dua anak ini merasa tak ada yang terlalu istimewa dengan tindakannya itu. Maka ketika kemudian kasus ini menjadi besar dan dia tiba-tiba harus menerima wawancara dari berbagai media, juga tampil di televisi, Juliana canggung. Di kantor, dia dipuji-puji. Di rumah, suaminya mencandainya setengah menyindir, “Wah, sudah jadi artis kamu, ya.”

Juliana pun kerap bingung menghadapi pertanyaan-pertanyaan wartawan yang kadang aneh. “Misalnya, ada yang tanya saya terafiliasi dengan organisasi atau gereja apa. Lah, saya saja jarang ke gereja!” Warga Tambora itu tertawa, sembari mengakui dirinya bukanlah orang yang religius.

Beberapa hari kemudian, Juliana mendapat info bahwa masa kritis Iqbal sudah lewat. Dia pun memutuskan menjenguk Iqbal di RSUD Koja. Di situ sudah ada tante dan kerabat Iqbal yang lain. Dari si tante, Juliana tahu, ternyata memang Dadang yang sudah menculik dan menyiksa Iqbal. Motifnya dendam pada ibu Iqbal, Iis Novianti, yang pernah jadi pacar Dadang.

“Dadang dihadap-hadapkan dengan Iqbal, lalu Iqbal ditanya apakah orang ini yang sudah menyiksa dia,” cerita tante Iqbal, Irma Nurcahayanti. “Iqbal hanya bisa mengangguk, sambil ketakutan melihat Dadang. Ya sudah, Dadang langsung ditangkap.”

September lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara untuk Dadang, tanpa banding. Juliana berharap, suatu hari nanti hukum di Indonesia dapat berbuat lebih dari sekadar mengirim pelaku kekerasan terhadap anak ke penjara.

Hukuman kurung memang bisa jadi menimbulkan efek jera bagi si pelaku, tapi bagaimana dengan anak yang menjadi korban? Berapa banyak dari mereka yang mengalami trauma, dan tidak memperoleh pendampingan psikologis karena tak ada biaya?

“Padahal, dengan proses penyembuhan yang tepat, kita bisa memutus rantai perilaku kekerasan berulang. Banyak, kan, para korban yang ketika dewasa justru jadi pelaku?” kata Juliana. “Kalau diterapi dengan baik, anak-anak ini justru bisa menjadi kuat dan menginspirasi sesama korban kekerasan untuk sembuh.” ***

Leave a Reply