Jika Anda merasa membayar biaya tiket parkir yang tak wajar, misalnya, tidak usah panik apalagi mengontak pengacara untuk menyelesaikan masalah Anda. Cukup temui Pengacara Robot yang diberi nama DoNotPay. Bilang saja kepadanya bahwa Anda mendapat tiket parkir yang tidak adil. Setelah robot mengarahkan Anda ke masalah yang sesuai, ia dapar menghasilkan surat banding. Anda tinggal tanda tangani, cetak, dan kirim kepada lembaga yang berwenang. Setelah itu, si robot masih akan bertanya: “Perlu bantuan tambahan?” Semua jasa itu dilayani secara gratis. Robot bikinan Joshua Browder, mahasiswa Stanford University, telah mengalahkan 375.000 tiket parkir dalam dua tahun belakangan ini.

Bukan cuma urusan tiket parkir yang bisa dibantu oleh robot baru ini. Jika Anda ingin menggugat orang, atau punya persoalan dengan perusahaan nakal, Anda bisa juga meminta bantuannya. Lagi-lagi, gratis.

Maraknya peran Artificial Intelligence (AI) inilah yang banyak  didiskusikan di Indonesia baik melalui secara daring maupun tatap muka. Kecerdasan Buatan ini dipastikan bakal ikut memengaruhi sistem  peradilan atau setidak-setidaknya di dunia advokat.

Di banyak negara, eksperimen dan pengembangan AI di bidang hukum ini sudah lama dilakukan. Pada 2016, The Guardian melaporkan bahwa “Hakim AI” yang dikembangkan University Colleger London berhasil membuat penilaian tiruan atas 584 kasus Pengadilan Hak Asas Manusia Eropa. Dari jumlah itu, 79 persen sama dengan keputusan akhir yang pernah dilakukan oleh hakim manusia. ROSS, pengacara robot yan dikembangkan IBM pernah disewa oleh kantor hukum di Amerika Serikat untuk menangani masalah hukum. Mesin itu mampu membaca UU, mengumpulkan bukti, membuat kesimpulan, dan memberikan jawaban  berdasarkan bukti yang ada.

Pada 2018, startup hukum dan teknologi Israel, LawGeex, melakukan percobaan unik. Robot lawyer diadu dengan 20 pengacara top Amerika untuk meninjau 30 masalah hukum dalam 5 (lima) perjanjian kerahasiaan. Hasilnya? Tingkat akurasi pengacara manusia sebesar 85 persen, sedangkan akurasi AI di atas 94 persen. Lalu dari sisi waktu, AI yang bernama Robot LawGeex itu dapat menyelesaikan tugas hanya dalam waktu 26 menit saja, 66 menit lebih cepat dari rata-rata waktu manusia.

Intinya, Kecerdasan Buatan yang berwujud robot atau bentuk lain ini dapat membantu masyarakat dalam mencari sumber informasi yang akurat, mampu membantu orang membuat perjanjian-perjanjian sederhana,  gugatan sederhana, sampai memprediksi hasil putusan. Hal ini bisa berdampak salah satunya, kepada honorarium pengacara yang biasa memasukkan waktu riset sebagai bagian dari layanan yang harus dibayar mahal oleh klien. Sebab, dengan AI, sebagian pekerjaan sudah bisa dilakukan oleh kliennya sendiri. Bahkan untuk kasus-kasus ringan, masyarakat tidak perlu membutuhkan jasa pengacara lagi. Dengan bantuan AI seseorang yang terkena kasus hukum bisa mengetahui pelanggaran yang dia lakukan, pasal berapa, dan apa konsekuensinya.

Memang, sampai saat ini, tetap diyakini bahwa AI tidak bisa menggantikan fungsi pengacara atau hakim sepenuhnya. Penilaian yang melibatkan emosi, empati, dan hal-hal spesifik tidak bisa digantikan AI begitu saja.

Evaluasi peradilan

Belum lama ini muncul Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Salah satu interpretasi dengan adanya Permen tersebut adalah bahwa pemerintah selalu punya cara cara untuk melakukan koreksi, evaluasi, keringanan, atau apa pun namanya terhadap mereka yang dibui.

Nah, kenapa kita tidak segera memulai berpikir bagaimana cara mengevaluasi sistem peradilan kita, khususnya putusan hakim, agar para narapadina bisa mendapatkan keadilan substansial di kemudian hari.

Ada banyak kasus perdata dan pidana –baik di Indonesia maupun di luar negeri – yang diputus secara keliru sehingga orang tak bersalah terpaksa masuk penjara (ingat kasus salah tangkap Sengkon dan Karta?). Bahkan sangat mungkin ada  orang yang terpaksa menjadi korban dari rekayasa penegak hukum atau kekuataan. Di Indonesia, mekanisme ini biasanya dilakukan melalui kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), namun prosesnya membutuhkan waktu lama dan energi luar biasa dari narapidana sendiri.

Saya usulkan, kita bisa membentuk lembaga adhoc – yang bisa saja nanti menjadi permanen—untuk melihat kembali kasus-kasus penting, kasus salah putusan, kasus kontroversial, kasus salah tangkap, kasus dengan hukum berat, untuk dievaluasi dari awal. Lembaga baru ini bisa dijalankan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan. Baik melalui laporan pencari keadilan atau inisiatif sendiri, Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka harus dikoreksi, direhabilitasi, atau dibebaskan.

Di Amerika Serikat, hal ini bisa dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya. Di Indonesia, sejak dihapuskannya kata “Rechsstaat” dan “Machtsstaat” dalam amandemen ketiga UUD 1945 (2001), jalan lebar untuk membuat interpretasi baru, terobosan-terobosan baru, baik dalam penerapan hukum atau pembentukan lembaga baru, terbuka luas.

Apakah lembaga baru yang dibantu AI tidak akan membuat adanya ketidakpastian hukum? Menurut saya tidak. Justru sebaliknya. Dengan adanya mekanisme evaluasi berbasis teknologi, dalam jangka panjang kualitas penegak hukum akan meningkat, putusan hakim akan lebih berbobot, dan keadilan substantif bisa digapai.

Hukum, Anda tahu, bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan  terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Justice is a decision. ***

Photo by Franck V. on Unsplash

Leave a Reply