PanaJournal – Proses macam apa yang berlangsung ketika seseorang memotret? Bagaimana peranan teknologi digital dalam representasi fakta? Catatan pengantar pameran fotografi Japanese Diary. Hanya di PanaJournal.com

Di Jepang, dari tanggal 8 sampai 17 Maret 2015, saya tidak melihat apapun, karena mata saya selalu terpaku ke layar lap-top.

Ya, saya harus mengirim tulisan setidaknya 600 kata setiap hari ke suratkabar Jawa Pos, karena saya sedang menulis cerita silat bersambung Naga Jawa dengan kontrak 365 hari di situ. Saat itu, saya belum berada dalam tahap kegawatan “tulis sekarang muat besok”, bahkan masih berjarak empat atau lima hari, tetapi saya tidak ingin jaraknya menjadi lebih dekat lagi. Artinya, ditambah kondisi psikologis “jauh di Jepang”, saya harus menulis setiap hari.

Ini berarti saya harus menyiasati setiap detik dan menit dengan efektif, di tengah penugasan Fakultas Film dan Televisi IKJ, sebagai Pak Guru yang mengiringi tiga mahasiswa dalam program pertukaran mahasiswa dengan Japan Institute of Moving Image (JIMI). Adapun caranya adalah “begitu sela begitu ngetik”, sejak berada di dalam bis jemputan, pura-pura mencatat dalam diskusi, sehabis rehat makan, langsung cari bangku dalam “acara bebas”, dan mencuri kesempatan terakhir kalinya dalam bis ketika kembali ke hotel.

Sampai ke kamar, rata-rata pukul 22, saya sudah menyelesaikan 400-500 kata, tinggal berperang melawan kantuk untuk mencapai 600 kata dan langsung mengirimnya. Orang Jepang memperlakukan waktu dengan sangat efektif, tetapi saya harus lebih efektif lagi, karena selain kerja ekstra cerita bersambung, saya juga mewajibkan diri untuk memotret. Namun bagaimana caranya memotret, jika mengangkat kepala dari layar lap-top saja tidak sempat? Ya, di antara itulah saya harus bekerja sebagai juru foto! Apa boleh buat, saya hanya bisa mengandalkan kelebat pandangan permukaan, bukan penghayatan, apalagi riset mendalam.

Untuk itu saya diuntungkan oleh lompatan dari masa lalu ke masa depan, yakni meninggalkan kamera Nikon digital saya yang empat lensanya masih analog, lengkap dengan tripod-nya, dan menggantinya dengan fungsi kamera pada gadget Nokia Lumia, yang dengan praktisnya bisa masuk kantong celana kargo saya. Ini cocok dengan ketiadamewahan ruang dan waktu pada diri saya, yang kali ini tidak mungkin berjalan-jalan khusus untuk memotret. Kegiatan memotret hanya bisa berjalan seiring, dan mengambil peluang bersama, ketika saya melihat.

***

Mengingat kembali semua ini saya menyadari kembali keberadaan lapisan-lapisan visual. Pada lapisan pertama hanyalah tampak optis bagi mata takbuta; lapisan kedua adalah tampak kultural yang akan membagi pencerapan ke dalam tampak visual dikenal dan takdikenal; lapisan ketiga adalah tampak personal dan tampak fungsional, ketika pemandang melakukan seleksi dan akan mendapatkan tampak visual seperti yang diinginkan atau dibutuhkannya sahaja. Mereka yang kurang pikir hanya akan mampu melihat sampai lapisan kedua, mereka yang berpikir dan mencari akan mencapai lapisan ketiga.

Seorang juru visual, termasuk juru foto, pelukis, dan peneliti, berada di lapisan ketiga, tetapi yang tidak akan terjadi tanpa melalui suatu proses, yakni mesti melalui lapisan pertama dan kedua. Dalam hal juru foto, keinginan atau kebutuhannya akan terbagi antara kebutuhan artistik, jurnalistik, ataupun dokumentasi, termasuk di sini jika menggunakan teknologi pencerapan (kepekaan infra red, lensa makro, dll.) demi kepentingan ilmu pengetahuan. Berdasarkan kebutuhannyalah tampak visual akan muncul sebagai tampak personal dan/atau tampak fungsional. Dalam kondisi saya di Jepang, proses itu tetap merupakan prasyarat, yang dalam keterbatasan waktu mesti diberlangsungkan seketika. Mungkinkah?

Betapapun, perbincangan teoretis itu hanyalah abstraksi dari suatu praksis yang sudah saya jalani bertahun-tahun, sehingga tanpa mengabaikan proses terhadap prosedur itu berlangsung suatu kondensasi yang tentu saja bukan tanpa risiko. Dalam hal saya, pengalaman visual saya dengan kunjungan ke Jepang sebelumnya, meski hanya dua kali dalam kurun 28 tahun, tampaknya membantu saya dalam proses percepatan itu.

Saya ke Jepang pertama kali pada 1986 atas undangan Japan Airlines, sebagai wartawan; kedua kalinya pada 1999, diundang Japan Foundation untuk bicara dalam Takeshi Kaiko Memorial Asian Writers Lecture Series. Seperti kunjungan kali ini, kedua kunjungan itu merambah Tokyo dan Kyoto, yang kedua ditambah Osaka dan Hiroshima, dan ketiga kota pertama itu terulang lagi dalam kunjungan kali ini.

Tampak jarang, berselang 13 tahun dan 15 tahun, tentunya wajah kota itu berubah, dan dalam kedua kunjungan itu saya memotret dengan intensitas tinggi, meski pengalaman terbatas, sehingga baru pada yang kedualah hasilnya membuat saya mendapat tawaran berpameran oleh Japan Foundation. Dalam kenyataannya, pameran foto Discovery Japan pada 1999  itu adalah pameran saya yang pertama.

Dengan suhu berkisar antara 8 sampai 14 derajat Celcius, dan malam bisa drop sampai 0, langit masih sama birunya di Jepang, sama saja birunya dengan langit di Jakarta, dan saya tidak terlalu merasa berada di negeri asing. Saya kira memang perasaan saya seperti itu, sehingga saya tidak terlalu merasa ada yang hilang dengan tidak pernah mengangkat kepala dari laptop. Namun setiap kali saya mengangkat kepala, proses mencari dan melakukan seleksi itu—antara sadar dan taksadar (teori lain lagi!)—tetap berlangsung.

***

Persoalannya sekarang, fotografi tetap berlanjut setelah klik, semenjak era film, dan terlebih-lebih memasuki abad digital. Dengan “kamera gadget” saya itu, meski saya kehilangan lensa tele maupun zoom (mendekatkan yang jauh melalui penghancuran ruang, dengan efek artistik tertentu), saya mendapat ganti multifungsi pada laboratorium digital, sehingga mengubah hasil fotografi yang apa adanya, lebih menjadi sesuatu seperti saya kehendaki. Di manakah kesahihannya?

Saya kira, sejak era cuci-cetak film pun, sebetulnya gambar sudah selalu diproses supaya jelas fungsi informatifnya—dan para pencetak foto di kamar gelap bukan bekerja tanpa penafsiran. Proses yang sama berlangsung pada laboratorium digital, tetapi dengan kecanggihan tinggi, sehingga peluang manipulatifnya pun juga tinggi. Fotografi jurnalistik, yang sudah lama mendapat beban sebagai representasi “kenyataan”, akan menghadapi tantangan etis. Seberapa “benar” foto yang kali ini dipresentasikannya itu? Bagi saya, foto akan menjadi manipulasi jika dengan sengaja memberikan informasi yang keliru.

Maka, selama laboratorium digital itu hanya memperjelas, bahkan melakukan dramatisasi dengan berbagai tekanan tertentu (terang-gelap misalnya), sejauh itu berdasarkan apa yang sudah ada saat klik, meski memang merupakan pengarahan bersifat manipulatif, bukanlah suatu manipulasi. Realitas visual dunia ini berwarna misalnya, belum perlu dianggap manipulasi jika dijadikan hitam-putih, meski tentu merupakan manipulasi jika tetap berwarna tetapi langit biru tersulap menjadi merah.

Dulu, film infra red, memperlihatkan apa yang tidak dapat dilihat mata manusia, sehingga meskipun begitu mengasingkan hasil gambarnya, sebetulnya tidak mungkin tampak jika memang tidak ada barangnya—alias sebetulnya menggambarkan yang “nyata”. Adapun dengan laboratorium digital, yang tidak ada memang bisa diadakan, sehingga kembali kepada juru foto, apakah ia bermaksud menghadirkan informasi faktual ataukah karya seni.

Dalam fotografi jurnalistik, memang terdapat kesepakatan sosial yang cukup ketat, masih ditambah kode etik jurnalistik yang lebih ketat lagi, sehingga pelampauan atas batas-batasnya mesti ditampung oleh fotografi seni, yang dalam dirinya sendiri adalah pergulatan antarwacana takkunjung henti.

Begitulah, pada awal dan akhirnya, fotografi adalah wacana itu sendiri.

Salam

SGA

Kampung Utan, Sabtu 18 Juli 2015. 08:28

Leave a Reply

3 comments

  1. Burhan

    Jadi kalau fotografi seni itu adalah “pergulatan antarwacana yang tak kunjung henti”, maka dari itu rasanya pas jika kita panggil dia sebagai sebuah “eksperimen”.

  2. fathul rakhman

    Fotografi selalu menarik dikisahkan di era berakhirnya kemewahan perlengkapan fotografi. Saya selalu suka tulisan mas Seno

  3. I Putu Sugih Arta

    Benar apa yang Mas Seno katakan, kesepakatan sosial memang sangat ketat dalam sebuah negara hukum. Seorang fotografer jurnalistik harus memahami secara komprehensif kode etik jurnalistik sebelum mengunggah karya ciptanya. Yang menjadi pertanyaan adalah pergulatan antar wacana di antara mereka….kesannya kok jadi absurd.