PanaJournal — Jauh sebelum Covid-19 sampai di Elar, Nusa Tenggara Timur, ada seorang petugas kesehatan yang berjuang menjaga warga agar terbebas dari sakit dan penyakit.
Hari ini saya berkesempatan mengunjungi rumah seorang lelaki tua yang hari-harinya kini dihabiskan untuk beternak ayam dan merawat sayuran di pekarangan rumahnya. Kadang ia juga mengurus babi-babinya di kandang. Kakek Linus, begitu lelaki tua ini biasa disapa. Konon, lelaki bernama lengkap Linus Ronggo ini adalah petugas kesehatan yang bertugas di wilayah Kecamatan Elar, Nusa Tenggara Timur. Mantri Linus, nama yang tidak asing lagi bagi masyarakat Elar bahkan juga Elar Selatan. Pengabdiannya kepada warga Elar Raya di tahun-tahun yang boleh dibilang tidak enak adalah pengabdian luar biasa seorang anak kepada ibu.
“Saya sama sekali tidak keberatan berbagi kisah hidup saya kalau memang Nana siap mendengar”, jawab Kakek Linus saat diberitahu maksud kedatangan saya.
Awal Mula Menjadi Petugas Kesehatan
Saat Kakek Linus kecil melanjutkan sekolah di Lengko Ajang, beliau tinggal bersama Mantri Juang; seorang petugas kesehatan asal Maumere yang bertugas di Poliklinik Lengko Ajang. Karena tiap hari terbiasa melihat sang Mantri bekerja, Kakek Linus jadi tertarik mengikuti jejaknya. Ia ingin menjadi petugas kesehatan yang bisa mengobati sanak saudaranya di Elar.
Waktu itu di Elar banyak kasus kegagalan bersalin karena persalinan hanya dibantu oleh dukun. Banyak juga orang sakit yang meninggal akibat pengobatan yang salah. Hal itu membuat cita-cita Kakek Linus semakin berkobar. Ketika Mantri Juang dipindahtugaskan ke Ruteng, beliau yang sebelumnya sudah tahu soal ketertarikan Kakek Linus mengajaknya ikut ke Ruteng, mengajukan lamaran untuk bekerja di Rumah Sakit. Di tahun-tahun itu, tamat Sekolah Rakyat saja sudah layak untuk belajar dan magang jadi petugas kesehatan di Rumah Sakit.
Tanpa pikir panjang, Kakek Linus menerima tawaran Mantri Juang dengan senang hati. Apalagi, di tahun yang sama ketika Mantri Juang pindah tugas ke Ruteng, Kakek Linus juga baru saja lulus Sekolah Rakyat di Lengko Ajang.
Setelah mengajukan lamaran di Rumah Sakit Umum Ruteng, ternyata usia Kakek Linus saat itu masih terbilang kecil untuk diangkat menjadi seorang petugas kesehatan. Kakek Linus tidak diterima. Ia baru saja tamat Sekolah Rakyat, masih sangat belia.
“Saya tetap di Ruteng beberapa hari setelah lamaran saya ditolak. Tetap tinggal di Rumah Mantri Juang”, kisah Kakek Linus.
Takdir Tuhan siapa yang tahu. Beberapa hari setelah lamarannya dikembalikan, Bapak Anton Parera, adik Mantri Juang yang saat itu menjabat Ketua Juru Masak Rumah Sakit Umum Ruteng memberi kabar: pihak rumah sakit sedang mencari tenaga untuk bekerja sebagai pembantu juru masak.
Oleh Bapak Anton Parera, Kakek Linus diarahkan untuk bertemu Suster Beneria seorang biarawati Jerman yang waktu itu menjabat Kepala Rumah Sakit Umum Ruteng demi menyampaikan lamarannya secara lisan.
“Di hari yang sama, saya langsung menghadap Suster Beneria. Hari itu saya langsung diterima, bahkan diperintahkan untuk langsung masuk kerja sehari setelahnya. Saya kaget karena saat itu saya bahkan tidak punya celana. Hanya ada sepotong baju dan satu lembar kain, itu pun sudah usang dan penuh tambalan. Saya menunggu waktu sebulan untuk dibelikan celana baru oleh Suster Beneria. Selama sebulan itu juga saya bekerja dengan baju dan kain yang tadi, baju dan kain yang sama saya gunakan ketika sekolah di Lengko Ajang”.
Dengan kemampuan seadanya, Kakek Linus bekerja sebagai pembantu juru masak di Rumah Sakit Ruteng. Kerja seorang pembantu juru masak adalah menampi beras dan membersihkan sayur untuk makanan pasien dan para pegawai rumah sakit. Kadang juga memasak bila diberi kepercayaan oleh kepala juru masak. Selain itu, pembantu juru masak juga bertugas menjadi pelayan, pengantar makanan pasien dan para pegawai.
Setelah setahun bekerja, Kakek Linus kembali memasukkan lamarannya untuk menjadi petugas kesehatan seperti yang ia cita-citakan. Umurnya belum cukup, masih 15 tahun. Usia untuk menjadi leerling (istilah bahasa Belanda untuk murid magang saat itu) mesti 16 tahun. Artinya, masih kurang satu tahun bagi Kakek Linus. Namun, karena pimpinan rumah sakit sudah melihat ketekunannya, beliau diterima. Tapi, tetap merangkap sebagai pembantu juru masak; malam bekerja di dapur, saat siang menjadi seorang murid yang belajar dan membantu para petugas medis senior di ruang-ruang perawatan.
Enam tahun menjadi leerling, akhirnya Kakek Linus diangkat menjadi petugas kesehatan. Reo adalah tempat awal beliau bertugas. Dua tahun mengabdi di Reo, Kakek Linus pindah lagi ke Lengko Ajang selama setahun. Dari Lengko Ajang, beliau dipanggil lagi ke Ruteng oleh Dokter Wang, pimpinan rumah sakit saat itu untuk kemudian dikirim belajar ke Lela.
Di Lela, Kakek Linus ikut masa percobaan selama tiga bulan sebelum resmi menjadi murid Sekolah Juru Rawat Lela. Banyak teman-teman angkatannya yang “gugur” selama masa coba namun Kakek Linus jadi salah satu yang bertahan. Tiga tahun menempuh pendidikan di Lela, Kakek Linus kembali ke Ruteng. Di tahun-tahun itu juga pelayanannya di Elar dimulai.
“Setelah suka duka sebagai juru masak, leerling, lalu belajar lagi di Lela, akhirnya saya resmi dan sah menjadi seorang Mantri profesional yang punya ijazah. Saya senang sekali, impian saya diberkati Tuhan”, ujar Kakek Linus sambil tersenyum.
Bekerja di Elar
Tahun 1964, seorang misionaris SVD bernama Pater Otto Voler mendengar kabar bahwa seorang pemuda dari Mombok (kampung asal Kakek Linus) baru saja menyelesaikan pendidikan sebagai petugas kesehatan di Lela. Di Lengko Elar, Pater Otto Voler membangun sebuah klinik setahun sebelumnya. Mantri Belasius Angkur, petugas poliklinik milik Pater Otto Voler pindah tugas ke Ruteng. Kakek Linus didekati Pater Voler untuk menggantikan posisi Mantri Belasius.
“Saat didekati Tuang Voler, saya sudah mengantongi surat keputusan untuk bekerja di Rumah Sakit Umum Ruteng. Namun saya juga tidak bisa menolak ajakan untuk bekerja di Elar. Saya anak asli Elar. Saya mencintai tanah kelahiran saya. Saya mesti berbakti untuk tanah ini. Di sisi lain, saya tidak bisa berbuat banyak. Saya harus menghargai pimpinan saya di Ruteng. Akhirnya karena kendala tersebut, saya meminta Tuang Voler sendiri yang berangkat ke Ruteng untuk berbicara dengan pimpinan saya agar saya bisa bekerja di Elar”.
Atas permintaan Pater Otto Voler, Kakek Linus akhirnya diizinkan untuk mengabdi di klinik miliknya di Elar. Namun, tahun 1984, Kakek Linus kembali dipanggil ke Ruteng untuk dikirim sebagai pembelajar perawat aplikasi di Ende selama setahun. Di tahun yang sama, di Elar, Puskesmas Pembantu dibangun sebagai cabang Puskesmas Lempang Paji. Pustu Elar dipimpin Nenek Sisilia Hiting, seorang bidan yang juga berasal dari Elar.
Ketika kembali dari Ende tahun 1985 Kakek Linus tidak langsung ke Elar. Beliau ditugaskan sebagai Kepala Seksi Penyuluhan Langsung di Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai di Ruteng. Baru di tahun 1987, saat Puskesmas Lempang Paji pindah tempat ke Elar dan diubah namanya menjadi Puskesmas Elar, Kakek Linus kembali ke Elar, dilantik sebagai Kepala Puskesmas pertama Puskesmas Elar.
Di Elar, Kakek Linus harus meruba cara pikir masyarakat yang lebih percaya dan mau diobati oleh dukun dan obat-obatan tradisional. Orang-orang Elar saat itu lebih taat perintah dukun ketimbang petugas kesehatan berijazah.
“Cara yang saya pakai untuk bikin masyarakat mau hidup sehat dan mengobati penyakitnya sesuai anjuran medis adalah bekerja sama dengan dukun-dukun di tiap kampung. Saya memberikan pengetahuan medis dasar kepada para dukun sehingga mereka juga ikut membantu membujuk masyarakat. Pelan-pelan dengan kerja sama yang baik, masyarakat akhirnya mau hidup sehat sesuai anjuran medis. Bantuan para dukun saat itu juga sangat berguna bagi tenaga kesehatan seperti saya.
Kakek Linus mengabdi menjadi kepala Puskesmas Elar hingga beliau pensiun di tahun 1995. Posisinya digantikan oleh Nenek Sisilia Hiting.
Tantangan Menjadi Petugas Kesehatan di Elar pada Masa Itu.
Tantangan terbesar dalam pelayanan masa itu adalah soal jangkauan wilayah puskesmas. Wilayah Puskesmas Elar saat itu besar sekali, bahkan sampai di Pota, Kecamatan Sambi Rampas, dan Mamba, Kecamatan Elar Selatan.
“Wilayah yang luas tapi petugasnya sedikit. Bahkan, saat masih di klinik milik Tuang Voler, saya hanya bekerja sendiri. Tiap ada pasien, saya mesti jalan kaki ke kampung-kampung. Naik turun gunung, keluar masuk hutan, bahkan kadang harus menyebrangi sungai. Bayangkan saja jika hari ini baru tiba dari Elar dengan berjalan kaki untuk mengobati pasien di Mamba, lalu dapat panggilan untuk segera layani pasien di Pota, maka harus berjalan kaki lagi dari Mamba menuju Pota”, jelas Kakek Linus.
Pota dan Mamba terletak di dua kecamatan berbeda yang tidak berbatasan langsung. Di antara dua kecamatan ini masih ada satu kecamatan lagi yakni Kecamatan Elar. Jauh. Pokoknya jauh, lumayan melelahkan bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Tantangan lainnya adalah peralatan medis yang belum lengkap. Bahkan, menurut Kakek Linus, luka di masa itu dijahit menggunakan jarum yang sekarang biasa digunakan untuk menjahit kain, begitu juga benangnya. Tidak ada jarum dan benang khusus. Itu baru salah satu dari banyak masalah akibat peralatan yang kurang lengkap saat itu.
Pengalaman Istimewa
Saat itu, ada pasien darurat di Buntal, Desa Golo Lijun. Kakek Linus kebetulan sedang ada pelayanan di Pota. Beliau dipanggil oleh seorang anak muda dari Buntal untuk segera ke sana.
“Nana boleh percaya, boleh tidak. Saat itu saya dengar kabar bahwa pasien di Buntal sudah sekarat. Saya mesti segera ke sana. Memang saat itu saya punya kuda, tapi jalan dari Pota ke Buntal mesti masuk hutan dan melewati jurang. Belum seperti sekarang. Belum lagi hari sudah mulai gelap. Saya tidak begitu yakin kuda yang saya tunggangi bisa menaklukan hutan saat itu.
Di bibir pantai ketika keluar dari Pota, saat hendak memasuki hutan saya tiba-tiba saja memutuskan untuk mengarahkan kuda menuju laut; menjauh dari jalan ke hutan. Kuda tadi berenang dari Pota sampai di Buntal. Boleh percaya boleh tidak, saya tetap duduk di atas punggung kuda tersebut. Selama kuda yang saya tunggangi berenang, seperti ada suara yang menyuruh saya menyanyikan lagu Ave Maria dan saya melakukannya.
Saya nyanyikan lagu Ave Maria di dalam hati sepanjang perjalanan. Ketika sampai di Pota, pasien yang sekarat tadi berhasil saya selamatkan. Puji Tuhan. Saya berpikir Bunda Maria menolong orang sakit itu melalui saya. Saya percaya itu!”, kisah Kakek Linus.
Kakek Linus rela meninggalkan kenyamanannya di Ruteng pada masa itu untuk pulang, mengabdi pada ibu. Mengabdi dengan penuh ketulusan di Elar yang ia tahu segala situasi, kondisi dan tantangannya. Kecintaannya pada tanah kelahiran lebih besar dari segala yang ia dapat di Ruteng, kota yang saat itu jauh lebih nyaman untuk ditempati dari pada Elar.
Ia rela meninggalkan Ruteng untuk datang ke Elar, meski taruhannya harus berjalan kaki keluar masuk kampung, keluar masuk hutan, naik turun gunung mengunjungi pasien di kampung-kampung.
“Di usia saya sekarang, saya sangat menikmati fasilitas kesehatan di Elar yang jauh lebih baik dari zaman saya dulu. Peralatan di puskesmas sekarang sudah sangat lengkap. Puskesmas pembantu juga ada di mana-mana. Sekarang serba mudah. Saya harap, para petugasnya juga demikian. Manfaatkan fasilitas dan peralatan kesehatan sebaik mungkin. Kalau alatnya lengkap dan bagus, petugasnya juga mesti canggih. Saya pikir itu bukan hanya harapan saya. Itu harapan kita semua. Harapan semua orang Elar yang mencintai Elar”, tutup kakek sambil tersenyum.
Kisah Kakek Linus adalah cerita perjuangan dan pengabdian luar biasa seorang anak kepada ibunya. Semoga tetap ada semangat Kakek Linus Ronggo di dalam hati tenaga kesehatan di Elar Raya dan di luar sana. Semoga semangat perjuangan ini juga tumbuh di dalam diri kita semua. Elar dan kami-kami ini padamu, Mantri Linus Ronggo. ***
Foto: dok. pribadi
Ilustrasi: Varits Gorga