PanaJournal – Pak “Maknyus” ini siap bertarung merebut kursi di DPR dan meningkatkan gizi masyarakat, serta membela Prabowo Subianto.

MALAM itu, Bondan Haryo Winarno, menemui saya dengan wajah kuyu dan kantong mata lumayan tebal. Sejak menjadi calon anggota DPR dari Partai Gerindra, pria 64 tahun itu mengaku kerap bertemu dengan banyak orang, terutama di Jakarta Selatan dan Pusat, dua daerah pemilihannya (dapil) selain dapil khusus di luar negeri.

“Wawancaranya enggak lama, kan? Saya letih sekali. Besok, saya juga harus berangkat ke Myanmar dengan Kemenparekraf (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif–Red),” ujar Bondan, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai wartawan investigatif, penulis buku, pengusaha, dan pemandu acara televisi Wisata Kuliner.

Menjadi caleg dari Partai Gerindra tentu bukan keputusan mudah. Belum lama ini, banyak yang mencibir Bondan, terutama setelah ia menulis pembelaannya di Twitter terhadap sosok Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina dan Calon Presiden Partai Gerindra.

“Jelas Caleg seperti @PakBondan (nama akun Twitter milik Bondan–Red) tidak akan ada dalam caleg bersih saya, karena tidak peduli tentang HAM dan orang hilang ’98,” tulis penyanyi terkenal Glenn Fredly di Twitter.

Berikut rangkuman wawancara saya dengan Bondan soal agenda politiknya, Prabowo, dan Jokowi.

Q: Mengapa jadi caleg? 

A: Selama bertahun-tahun, saya apolitis. Artinya, saya tidak bergabung dengan partai politik mana pun. Tapi, saya bukan antipolitik. Saya mulai tergerak masuk ke dunia politik sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, saya diundang Menteri Pertanian RI Suswono.

Dia dan jajarannya meminta pendapat saya tentang program kampanye kedaulatan pangan. Lalu, saya mengusulkan kampanye mengurangi konsumsi nasi. Sebab, isu kedaulatan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah, jadi terlalu berat buat masyarakat.

Seperti kita ketahui, Indonesia termasuk konsumen beras terbesar dunia. Tingkat konsumsi beras nasional bisa mencapai 139 kg per kapita per tahun. Singapura hanya 60 kg. Jepang juga cuma 50 kg. Kalau konsumsi beras nasional kita bisa turun menjadi 70 kg, itu sebenarnya bagus sekali. Indonesia kini termasuk salah satu negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia.

Jadi, sebagian uang yang tadinya untuk membeli beras, kita ganti untuk makanan sumber protein. Dengan begitu, sumber makanan yang mengenyangkan itu bukan lagi nasi, ubi, singkong dan pati lainnya. Ingat, ya, bukan mengganti nasi dengan singkong. Itu bisa menghina masyarakat, sebab mereka pasti berpikir “Sudah bisa beli beras, kenapa disuruh makan singkong?”. Bukan itu maksud saya.

Q: Jadi, seperti apa? 

A: Pada periode 1930, Thailand berhasil mengurangi konsumsi beras nasional hingga 30%. Hal itu terjadi ketika pemerintah memperkenalkan makanan pengganti nasi, yang disebut Pad Thai–semacam kwetiau yang terbuat dari bulir-bulir padi sisa penggilingan. Selain karena malaise, pemerintah Thailand waktu itu khawatir ekspor berasnya turun.

Tak berapa lama dari pertemuan dengan menteri pertanian itu, ada rumah produksi film yang mengontak saya. Mereka meminta waktu saya untuk membuat film soal program mengganti nasi dengan singkong. Saya tidak mau. Belum apa-apa, kok, sudah bicara proyek. Padahal, saya baru membahasnya dalam satu kesempatan.

Jadi, saya sudah membahas isu pengurangan konsumsi beras dengan seorang menteri. Kok, tidak berhasil? Dari situ, saya berpikir dari sisi politik. Sebab, saya sudah telanjur menyusun konsep kampanye isu tersebut. Lantas, saya coba mengajukannya kepada sebuah partai politik besar lewat seorang petingginya. Tapi, tak ada tindak-lanjut.

Q: Ternyata, pendekatan politik Anda pertama kali bukan ke Partai Gerindra? 

A: Memang bukan. Lalu, pada 25 Januari 2013, saya menyimak Twitter saat berada di Bangkok. Tiba-tiba saya lihat ada tweet dari Prabowo Subianto dalam rangka Hari Gizi Nasional. Saya kaget. Kok, ada calon presiden yang membahas gizi. Ternyata, hari itu Prabowo menulis tweet berseri tentang peningkatan gizi masyarakat dan kaitannya dengan indeks pembangunan manusia (metode pengukuran kualitas manusia berdasarkan harapan hidup, angka buta huruf, pendidikan, dan standar hidup–Red).

Ya, sudah. Saya merasa cocok. Malam itu juga, sebelum tidur, saya kirim email ke Prabowo. Saya menyatakan kesepahaman dan dukungan saya dengan pandangan Beliau. Besok pagi, ternyata ada balasan. Beliau bilang, kalau memang sepaham, ya, bergabung saja dengan Gerindra. Beberapa hari setelahnya, saya langsung mendatangi kantor Gerindra untuk mendaftar sebagai anggota partai. Saat itu, ada seorang pengurus partai yang malah menyuruh saya langsung mendaftar sebagai caleg. Itu yang saya lakukan. Lalu, saya mengikuti proses selanjutnya, termasuk proses seleksi dan wawancara.

Saya bahkan tak tahu bahwa sebelumnya harus sudah memilih dapil. Ketika dinyatakan mendapat dapil DKI Jakarta-2, saya terima saja. Ternyata, itu dapil yang terkenal sulit. Kata orang, itu “dapil neraka”. Ha-ha-ha.

Q: Berapa biaya yang Anda siapkan? 

A: Pada saat wawancara, saya memang ditanyai mengenai kesanggupan membayar biaya senilai Rp 300 juta. Biaya itu untuk pengadaan saksi pemilu dan keperluan lainnya. Sementara, biaya caleg DPRD Provinsi mencapai Rp 150 juta, dan caleg DPRD Kota/Kabupaten sebesar Rp 50 juta. Waktu itu, saya bilang bahwa saya sanggup membayar jika biaya itu bisa dicicil. Tapi, sampai sekarang, biaya itu belum ditagih. Setahu saya, itu bukan menjadi persyaratan untuk lolos sebagai caleg Partai Gerindra.

Untuk kegiatan operasional, saya sudah mempersiapkan dana pribadi. Selain itu, saya juga menggalang dana dari teman-teman sekitar Rp 230 juta. Dan, kebetulan dana tersebut sudah habis. Ha-ha-ha. Ternyata, kebutuhannya sangat banyak. Anggaran itu masih kalah jauh dengan caleg lain. Mereka bisa menghabiskan Rp 6-10 miliar, lho.

Q: Sebelumnya, Anda mengatakan, dapil DKI Jakarta-2 itu sulit. Anda yakin isu soal peningkatan gizi bisa “menjual”? 

A: Di praktik manajemen, ada prinsip begin with the end in mind. Segala sesuatu diawali dengan memikirkan tujuan akhir. Tujuan akhir saya bukan menjadi anggota DPR, melainkan peningkatan gizi masyarakat. Jadi, kalau tidak terpilih, saya akan cari kendaraan lain.

Saya sering bersosialiasi dan melakukan pendekatan ke masyarakat di dapil saya. Banyak, kok, yang tertarik. Mereka beranggapan bahwa masalah gizi belum pernah diangkat sebelumnya. Tapi, kalau mereka tidak menganggap masalah ini penting, ya, sudah.

Tapi, memang banyak yang menyepelekan saya. Mereka bilang, “Masak menjadi anggota DPR hanya untuk mengurusi gizi?” Padahal, urusan gizi ini sangat penting. Jaminan kesehatan gratis memang perlu. Tapi, kebutuhan nutrisi masyarakat juga harus menjadi perhatian bersama, agar kesehatan masyarakat tidak menjadi beban ke depannya. Kalau nanti ada fasilitas pendidikan gratis, misalnya sekolah penerbangan gratis, memangnya ada “anak kampung” yang bisa masuk sana? Dari sisi fisik saja sudah kalah. Apalagi, dari aspek kecerdasan.

Jangan keliru, ya. Soal gizi ini juga bukan hanya urusan masyarakat miskin. Coba lihat kalangan atas yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Mereka akan menghadapi fenomena obesitas. Banyak guru besar soal pangan dan ahli kesehatan masyarakat yang siap mendukung saya dalam memperjuangkan isu peningkatan gizi. Saya tidak mati-matian menjadi anggota DPR. Tapi saya mati-matian–kalau perlu mati beneran–untuk memperjuangkan isu ini.

Q: Kalau memang Anda sepaham dengan Prabowo dan Partai Gerindra soal peningkatan gizi masyarakat, mengapa Anda merasa perlu membela Prabowo atas berbagai tudingan, termasuk pelanggaran HAM? 

A: Saya mungkin orang bodoh dan tak cukup sensitif (dalam menanggapi serangan negatif terhadap Prabowo–Red). Tapi, saya selalu merasa iba terhadap orang yang dianiaya. Dan, saya melihat bahwa sosok Prabowo ini sedang dianiaya. Banyak akun Twitter tak jelas yang selalu menjelek-jelekkan Prabowo. Ini dilakukan berulang-ulang secara sistematis. Tapi, saya menghargai tweet orang-orang seperti Glenn Fredly atau Fadjroel Rachman. Let’s agree to disagree. Mari kita bermufakat untuk tidak sependapat.

Saya sudah mengirim email ke Prabowo dan mengatakan bahwa saya tidak kecil hati menghadapi serangan negatif yang demikian. Saya juga meminta maaf kalau saya ternyata telah melakukan kekeliruan dengan membuat masalah ini menjadi besar. Saya tidak disuruh Prabowo untuk melakukan pembelaan, lho. Sampai hari ini email itu belum mendapat balasan. Saya tidak tahu. Bisa jadi dia marah.

Memang ada haters, kalangan pembenci Prabowo. Mereka selalu mengungkit-ungkit fakta bahwa Prabowo telah dipecat dari jabatan militernya pada 1998. Apakah itu membuktikan bahwa Prabowo bersalah atas kejahatan HAM? Tidak. Tolong baca sejarah dari dua sisi.

Sederhana saja. Memangnya KPU itu bodoh? Mengapa KPU waktu itu meloloskan Prabowo sebagai calon wakil presiden ketika berpasangan dengan Megawati pada Pilpres 2009? Mengapa waktu itu tidak ada serangan seperti sekarang ini, ketika Prabowo akan maju sebagai calon presiden? Mungkin, saya dinilai telah bertindak bodoh. Tapi saya lebih baik dinilai sebagai orang goblok, daripada orang yang tidak setia, atau seorang pengkhianat.

Q: Setia pada siapa? 

A: Setia pada Prabowo. Karena, dia punya program kerja dan saya setia kepada program itu. Dan, saya yakin dia bisa menjalankan program tersebut. Begini, ya. Saya selalu melihat ke depan. Ketika menyetir, kadang-kadang saya melihat kaca spion. Kalau terus-menerus melihat spion, ya, saya bisa menabrak. Jadi, saya tidak akan sampai ke tujuan. Begitulah kira-kira sikap saya terhadap Prabowo. Saya juga pernah bersalah, bukan cuma Prabowo. Anda juga pernah bersalah. Tapi, setiap orang pernah menyesal, bertobat dan melihat ke depan.

Saya tidak takut (membela Prabowo–Red). Bahkan, ada yang menyerukan aksi boikot Kopi Oey (restoran milik Bondan–Red). Jika aksi mematikan pendapatan 600 lebih tenaga kerja itu dianggap membanggakan, silakan saja. Saya akan menjual harta dan rumah saya untuk membayar pesangon mereka, jika diperlukan. Saya tidak ingin membiarkan kebusukan ini merugikan masa depan bangsa.

Kita memang butuh pemimpin. Saya bukan menyindir Jokowi (Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, calon presiden PDI-P–Red). Terus terang, saya suka Jokowi, tapi pentas nasional bukan porsi dia. Ini pendapat saya pribadi.

Q: Porsi apa? Menjadi Calon Presiden RI?

A: Ya. Saya bukannya tidak yakin bahwa Jokowi punya kemampuan. Tapi, pada saat ini, saya belum melihatnya. Ketika ditanyai apa visi-misinya menjadi capres, apa jawaban Jokowi? Dia malah memilih untuk menjawab hal itu setelah pemilihan legislatif. Saya, sih, lebih memilih capres yang punya seperti ini (sambil menunjuk Buku Merah Putih: 6 Program Aksi Gerindra 2014-2019–Red). Oke, ini program kerja yang do-able, bisa dilaksanakan. Saya pun akan ikut mendukungnya.

Saya juga bukan orang yang “setia buta”. Kalau nanti ternyata Prabowo bersalah, saya akan bilang “Sorry General. Anda ternyata bersalah.” Tapi, sekarang saya tak mau jadi hakim. Tolonglah bersikap adil. Please be fair. (***)

Leave a Reply