PanaJournal – Sebagian besar masa hidup mereka lewati dalam kekeringan. Belakangan ada geliat mengakhirinya.
TENGAH malam, Sudarwanti belum bisa tidur. Pikirannya tak beranjak dari ember-ember air. Kupingnya mendengar suara air diciduk, lalu suara pintu belakang dibuka.
Seseorang mau kencing. Itu salah satu dari lima anak lelaki Sudarwanti. Segera ia susul anaknya di bilik bambu belakang rumah papan kayu keluarganya itu.
“Nek nganggo banyu aja sak senenge. Nguyuh yo nguyuh wae. Gak usah nganggo banyu! (Kalau pakai air jangan semaunya. Kencing ya tinggal kencing saja. Tidak usah pakai air!),” Sudarwanti mengomel.
Soalnya, tinggal satu ember berisi air. Itu pun cuma setengah. Padahal, ia butuh air untuk dijerang besok pagi. Untuk minum, menanak beras dan memasak sayur. Besok pula, hampir seluruh orang di rumah itu perlu air untuk cebok setelah berak.
Air untuk menyentor kotoran tak masuk hitungan. Keluarga Sudarwanti membuang hajat di tanah kebun, tak jauh dari rumah. Dengan cara itu, kotoran cukup ditutup daun jati saja. Air untuk mandi? Mandi bukanlah rutinitas pagi mereka. Terlebih pada musim kemarau.
Memang malam itu Sudarwanti uring-uringan. Pasalnya, ia belum bisa membawa pulang air dari sendang di hutan jati meskipun sejak siang sudah mengantre jerigen. Jerigen itu ia taruh bersama ember-ember plastik besar bekas kemasan cat dan jerigen-jerigen lain milik tetangga. Antrean terlalu panjang.
Ia berharap, pukul dua atau tiga dini hari ada tetangga mengetuk pintu rumah, mengabarkan gilirannya menimba air sendang. Dengan begitu, urusan persediaan air akan selesai saat pagi mulai terang.
Agar anak-anak dan suaminya bisa mandi paling tidak sekali sehari, piring dan panci tercuci, dan kendi-kendi terisi, Sudarwanti butuh air bersih enam sampai tujuh jerigen ukuran 30 liter. Jadi, paling tidak, ia harus enam kali bolak balik ke sendang, menggendong jerigen penuh air satu per satu.
Jarak dari rumah ke sendang kira-kira 1,5 kilometer dan ia satu-satunya orang di keluarga itu yang bertugas mencari air.
“Suami kerja di tegalan milik Pak Mantri (lahan Perhutanan Sosial). Anak-anak mburuh kuli bangunan di Purwodadi. Kalau tegalan bisa ditinggal, suami ikut anak-anak ke Purwodadi, kadang ke Semarang. Tinggal saya dan ragil (bungsu) saya yang cacat itu,” kata dia. Bungsunya menderita kelumpuhan dan hanya bisa duduk.
Keluarga Sudarwanti bukan tak punya sumur. Ada satu di belakang rumah, dalamnya tujuh meter. “Untuk nampung air hujan,” kata Sudarwanti.
Kedalaman sumur-sumur tetangga tak jauh dari kisaran angka itu. Seluruhnya akan kering jika kemarau datang. Di tempat kelahiran Sudarwanti itu, Dusun Jamus, Desa Mangin, Kecamatan Karangrayun, Kabupaten Grobogan, menggali sumur yang bisa mengeluarkan air, tidaklah mudah.
Badan Perencana Pembangunan Daerah Grobogan lewat laman resmi, mengenalkan Kabupaten Grobogan sebagai daerah yang sarat relief pegunungan kapur dan perbukitan diselingi dataran rendah. Dengan kondisi geografis itu, secara umum cenderung cukup sulit untuk mendapatkan sumber air tanah di Grobogan.
Simpanan air hujan sulit diandalkan sampai kemarau berakhir, lantaran terlalu sedikit. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Grobogan, pada tahun 2015, orang-orang di Kecamatan Karangrayung hanya menemui rata-rata enam hari hujan dalam sebulan. Bandingkan dengan daerah yang tergolong paling kering di Semarang, Kampung Deliksari. Di sana orang masih berjumpa hujan 14 hari dalam sebulan.
“Bulan tujuh sampai delapan itu masa terkering. Tidak ada hujan sama sekali di sini. Jamus yang paling kering di Mangin. Hampir seluruh penduduknya kesusahan air,” begitu Kepala Desa Mangin, Kecamatan Karangrayung, Budiono menceritakan keadaan wilayahnya.
Mereka yang punya uang, bisa saja membeli air bersih dari tangki. Sekali waktu, jika punya uang lebih, keluarga Sudarwanti juga melakukannya. Untuk mencapai Jamus, 4.000 liter air tangki harus dibayar Rp 150 ribu. Maklum, mobil tangki harus menembus 29 kilometer dari Ibukota Grobogan, Purwodadi. Melewati sebagian besar jalan dusun yang berbatu.
Air akan diisikan ke sumur dan hanya cukup untuk dua minggu. Hitung-hitungan Sudarwanti, uang untuk beli air itu lebih banyak dari uang untuk beli beras dalam sebulan.
“Mahal,” begitu katanya. Agar hemat, lebih baik antre di sendang.
Sudarwanti sudah terbiasa menggendong puluhan liter air dari sendang. Tubuhnya terlatih sejak kanak-kanak. Ketika masih bocah, ia pakai kelenting untuk mengangkut air. Begitulah umumnya anak-anak di Jamus pada masa itu.
Meski sudah biasa, tapi kini badan Sudarwanti tak sekuat dulu. Usianya sudah berkepala lima. Anak-anak mulai tak tega pada ibunya. Tiga dari mereka memutuskan pergi ke Jakarta untuk mendapat uang lebih banyak, agar ibunya bisa beli air tangki.
Suami Sudarwanti turut ke Jakarta. Sejak itu Sudarwanti belajar menggunakan telepon genggam sederhana. Jika kemarau tiba, kabar soal air di rumah selalu menjadi topik obrolan.
*
Yeni Pustipa menunjukkan pinggulnya yang menghitam. Kulit pada bagian itu mengeras. “Semua perempuan di sini pinggulnya hitam,” kata Yeni. Tanda yang sama juga dimiliki Sudarwanti dan perempuan-perempuan tetangganya.
Yeni lahir dan tinggal di Dusun Mojolegi, Desa Bandungharjo, Kecamatan Toroh yang lebih dekat dengan Purwodadi. Jika ditempuh dengan mobil, kira-kira butuh dua jam untuk mencapai kampung Yeni dari rumah Sudarwanti.
Kali pertama Yeni membantu ibunya membawa pulang air adalah saat ia duduk di bangku kelas II SD. Sebelumnya, Yeni hanya menemani ibunya berjalan bolak balik antara sendang ke rumah.
Sejak mampu menggendong kelenting air, Yeni diberi tugas tetap oleh ibunya. Pagi selepas subuh ia harus pergi ke sendang di pinggir ladang, satu kilometer dari rumahnya. Tiga atau empat kelenting bisa ia dapat sebelum jam sekolahnya tiba. Sore, ia akan kembali mengambil air dari sendang.
Setelah tubuhnya semakin kuat, kelenting ia ganti dengan jerigen plastik yang bisa memuat air dua kali lebih banyak. Setiap hari, pinggulnya terus menerus menjadi tumpuan jerigen air yang ia gendong dengan kain panjang. Dari situlah ia mendapatkan tanda hitam yang tebal di pinggul.
Meski sudah susah payah membawa pulang air dari sendang, bukan berarti Yeni dapat leluasa memakainya. Seringkali Yeni tak mandi pagi walaupun harus bersekolah. Mencuci muka dan menggosok gigi seperlunya, itu sudah cukup.
“Kalau pas kemarau ya tidak mandi. Tidak perlu malu, wong teman-teman juga sama. Sudah biasa begitu di sini, tidak aneh,” kata Yeni.
Ibunya tak pernah lupa memberi peringatan untuk tak sembarangan memakai air. Air untuk minum, memasak dan untuk minum kambing-kambing, lebih diutamakan. Selebihnya bisa dikesampingkan. Karena itu, Yeni remaja tak pernah mencuci pembalut menstruasinya. Ia membuang pembalut yang sudah terpakai ke kebun belakang rumah begitu saja.
Sampai Yeni menikah, ia masih melewati hari-hari dengan sedikit air. Dua kali masa hamil ia lewati dengan tetap menggendong air dari sendang. “Untungnya, tidak terjadi apa-apa pada saya dan bayi,” kisah Yeni.
Bisa jadi, ada penduduk di bagian lain Indonesia atau belahan lain dunia yang mengalami hal serupa. Tahun ini, United Nation Water (badan PBB yang mengurusi air) melaporkan, dua per tiga penduduk dunia mengalami kekurangan air selama satu bulan setiap tahun.
Menurut laporan Bank Dunia, akibat kekurangan air lebih ngeri dari pinggul menghitam. Satu dari empat anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting, pertumbuhan kerdil yang mempengaruhi perkembangan otak dan kemampuan berpikir.
Jutaan anak kerdil ditemui di India, Nigeria, Pakistan, dan Tiongkok. Di Indonesia ada 7,6 juta anak kerdil. Jumlah itu memakan porsi 37,2 persen dari total jumlah anak Indonesia di bawah lima tahun.
*
Dulu, saat mencalonkan diri menjadi Kepala Desa, Budiono berpikir tentang hal yang paling didambakan oleh 6.300 jiwa di Karangrayung. “Orang-orang sini butuh air,” pikir Budiono. Sebagai pemuda asli Karangrayung yang waktu itu belum genap 30 tahun, Budiono berupaya mewujudkan harapan warga.
Desanya itu adalah salah satu dari sebagian besar pedesaan yang nyaris tak tersentuh layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Purwa Tirta Dharma, Grobogan. Pada 2014, hanya ada 40 sambungan PDAM di Mangin. Itu pun bukan sambungan rumah penduduk.
Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia mendata, penduduk Grobogan yang mendapat layanan PDAM tak sampai delapan persen. Sebagian besar berada di perkotaan. Hanya 14 persen yang ada di pedesaan.
Ketika sudah terpilih menjadi pemimpin desa itu, Budiono menyusun rencana pengelolaan air. Dipakailah dana alokasi khusus untuk pengelolaan air bersih di dua dusun, tidak termasuk Jamus.
Budiono menyodorkan proposal kepada Badan Perencana Pembangunan Daerah Grobogan, untuk memasukkan program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) ke desanya. Program pemerintah yang didukung Bank Dunia untuk menambah daya jangkau warga terhadap layanan air bersih dan sanitasi.
Program ini menyasar masyarakat berpendapatan rendah di pedesaan dan wilayah peri-urban. Setahun kemudian, rumah-rumah di Dusun Mangin dan Dusun Setren sudah dihampiri peralon sambungan dari sumber air Pamsimas yang berjarak tiga kilometer dari dusun-dusun itu.
Namun belakangan, Budiono mendengar warga mengeluh lantaran air tidak terbagi rata. Warga yang berada paling jauh dari sumber air hanya mendapat sedikit air, bahkan kadang tidak sama sekali. Ada yang mendapati lumpur dari keran air yang dibuka.
Budiono putar otak untuk mendapatkan sumber air lebih banyak. Dongeng masa kecil tentang Mangin melintas di kepala Budiono. “Desa ini juga disebut Pulo Mangin. Pulo itu seperti pulau, ada di tengah perairan. Pasti ada sumber air lain lagi,” Budiono percaya itu.
Tanpa landasan ilmiah, ia bertekad akan mengebor tanah sawah yang merupakan bengkok, upah jabatannya sebagai kepala desa. Budiono yakin akan mendapatkan air dari sana.
Persoalannya, ia tak punya biaya. Dana Desa yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Sementara, musim kemarau tahun 2017 kian dekat.
Suwadi, Kepala Desa Bandungharjo, tempat Yeni Puspita, juga pernah mengalami hal serupa. Pada 2009, program Pamsimas masuk ke Bandungharjo membawa dana Rp 275 juta. Tim Pamsimas mengebor suatu titik di Dusun Masuhan. Suwadi segera membentuk Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BPSPAM) Tirta Makmur untuk mengelolanya.
Belum sempat dikelola, sumur bor yang digadang-gadang jadi sumber air desa itu malah mengering. “Itu sudah jadi ‘monumen’,” begitu Suwadi mengistilahkan.
Suwadi pernah menjajaki Dusun Harjowinangun. Ada mata air di sana. Peralon dipasang dari sumber air ke rumah-rumah warga. Tak lama, debit airnya menurun.
Nyaris frustasi karena dana sudah habis, Suwadi memerintahkan pengeboran di Dusun Bodag. “Kami spekulasi. Tidak pakai hitungan, tapi langsung tentukan titik dan dibor,” kenang Suwadi. Pengeboran di Bodag berhasil. Air lanjar mengaliri Dusun Masuhan dan Sambiroto lewat jaringan pipa.
Orang-orang Mojolegi termasuk Yeni Puspita, mendengar kabar itu. Mereka minta penyambungan pipa dari Bodag, tapi Suwadi kehabisan uang.
*
Tengah hari, tak jauh dari Mojolegi. Ida dan Suwarni bersama-sama menuju rumah Ketua RT di Dusun Dalingan, bergabung dengan para perempuan lain. Hari itu Rabu, 27 September 2017, Kepala Desa Abdurrochim sudah menunggu di sana.
Sebanyak 350 rumah di Tawangharjo sudah dihampiri pipa langganan air. Ida dan kawan-kawan ingin rumahnya seperti itu. “Ini bukan langganan PDAM. PDAM tidak jadi masuk. Karena setelah dicek, debit airnya sampai di sini kecil sekali,” kata Abdurrochim.
Ada sumur di kebun milik Joko Prihatin di Dusun Pakelan, Desa Sambirejo, Kecamatan Wirosari. Desa itu ada di sebelah timur Desa Tawangharjo. Pipa peralon membentang sepanjang tujuh kilometer, menghubungkan sendang Pakelan ke tandon air yang ada di Desa Tawangharjo.
Dari tandon itulah mengalir air ke rumah-rumah penduduk lewat pipa yang lebih kecil. Persis PDAM, aliran air ini diukur dengan meteran. Joko Prihatin membangun instalasi itu sejak Agustus 2013. Singkatnya, kini Joko mengelola sumber air di kebunnya. Mendistribusikan kepada penduduk yang jauh dari sumber air dan sulit menjangkau PDAM, diantaranya penduduk Tawangharjo.
“Perusahaan air” Joko itu dinamai Sendang Makmur. “Dulu sumur di tanah hak milik saya itu, saya bor sendiri,” kata Joko.
Di teras rumah tempat mereka berkumpul, dua petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK) Purwodadi telah menjejer kursi dan menata meja. BKK ini perusahaan milik daerah berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sudah tiga tahun BKK Purwodadi meluncurkan BKK Air, fasilitas kredit untuk menjangkau air bersih dan sanitasi.
BKK Air beroleh dukungan Water.org, organisasi nirlaba dari Amerika Serikat yang punya fokus penanganan krisis air dan sanitasi global, bentukan Gary White dan Matt Damon. Country Director Water.org Indonesia, Gusril Bahar menyebut, mereka memiliki program water credit, penyokong lembaga keuangan mikro yang melakukan pembiayaan semacam BKK Purwodadi.
“Setidaknya sudah lebih dari 15 ribu jiwa penerima manfaat kredit air dan sanitasi ini,” kata Direktur BKK Purwodadi, Koesnanto yang juga berada di Dalingan siang itu.
Satu per satu, ketigapuluh perempuan yang duduk lesehan di dalam rumah papan, dipanggil petugas. Masing-masing telah mengumpulkan salinan kartu tanda penduduk, kartu keluarga dan surat nikah. Petugas sudah menyusun dokumen-dokumen itu bersama kertas-kertas formulir.
“Bu Ida, njenengan dapat kredit Rp 2,5 juta untuk pemasangan sambungan langganan air. Bunganya 0,85 persen. Angsurannya Rp 210 ribu sekian, ditambah 50 ribu. Nanti kalau sudah lunas 50 ribu dikembalikan ke Bu Ida,” terang petugas. Ida mengangguk, lalu meneken formulir.
Ia sanggup membayar angsuran itu setiap bulan selama setahun. Kebetulan rumah Ida sudah dilewati instalasi yang dirangkai Joko. Jika belum, maka biaya pasangnya Rp 2,7 juta. “Lumayan ada pinjaman. Kalau bayar sekaligus uang sebanyak itu, ya saya ndak punya,” kata Ida.
Bukan main senangnya Ida. Ia berangan-angan, pipa air segera menghampiri halaman rumahnya. Dengan begitu ia tak perlu lagi membeli air dari keran tetangga yang lebih dulu berlangganan. “Dipikir-pikir, langganan sendiri lebih irit. Cuma bayar Rp 5.000 per meter. Kalau beli di tetangga satu jerigen harganya Rp 9.000,” tuturnya
Suwarni tak kalah girang. Biasanya, perempuan 40 tahun itu harus berjalan setengah kilometer ulang alik dari sumur dusun sebelah dengan jerigen penuh air di gendongan. “Lihat tetangga punya keran kok sepertinya enak. Saya jadi kepengen,” begitu katanya.
Cara itulah yang dipakai Suwadi untuk mengairi kampung Yeni Puspita. Suwadi menemui petugas BKK Purwodadi dan mengajukan kredit atas nama BPSPAM sebesar Rp 50 juta untuk membangun jaringan pipa menuju Mojolegi.
Yeni dan para tetangganya pun mengajukan kredit BKK Air sebesar Rp 1,4 juta untuk menyambung pipa ke rumah. Yeni mengangsurnya setiap bulan.
Suwadi berdoa agar air senantiasa lancar mengaliri rumah warga seperti saat ini. Nama BPSPAM ia ganti, dari Tirta Makmur menjadi Tirta Langgeng yang kini menjadi melayani 436 rumah penduduk Bandungharjo. Nama yang terakhir berarti air abadi, itulah doa Suwadi.
Mendengar kabar dari Tawangharjo dan Bandungharjo, Budiono lantas mendatangi BKK Kecamatan Karangrayung. Setelah beroleh pinjaman dari BKK, ia mengebor sawah bengkok.
Seperti yang ia yakini, air keluar dari sumur bor pertama pada saat mata bor mencapai kedalaman 16 meter. Lima sumur lain kemudian dibuat di sekitarnya dengan kedalaman sama. Rancangan jaringan kemudian dipasang.
*
Yeni Pustipa memutar keran di atas bak cuci piring di dapurnya yang tampak baru. Ia bersihkan tangannya yang kena tanah usai menanam biji jagung di ladang. Siang itu ia pulang untuk memberi minum kambing-kambingnya. Ia akan mengambilnya dari keran di samping rumah.
Sewaktu kecil, Yeni tak pernah membayangkan kesehariannya akan semudah itu. Kini setiap bulan ia tinggal membayar uang langganan air ke BPSPAM Tirta Langgeng. Biasanya tak sampai habis Rp 30 ribu.
Sekarang umur Yeni 33 tahun, ia sedang hamil anak ketiga. Kehamilan kali ini terasa lebih ringan baginya. Sejak Juli tahun lalu, ketika peralon air terpasang di rumahnya, suami Yeni merombak dapur termasuk membuat bak cuci piring, serta membangun jamban. Yeni bahkan membeli mesin cuci.
Sudarwanti juga ingin segera memiliki jamban. “Dulu air susah, tidak mungkin bikin jamban. Nyentor-nya pakai apa?” Sudarwanti tergelak.
Kini sudah ada sumbu-sumbu air di seluruh Mangin. Senin, Rabu, dan Jumat sore adalah giliran sumbu air di Jamus dinyalakan. Orang-orang akan datang ke sana, juga Sudarwanti. Sumbu itu berada di tanah lapang sebelah rumahnya. Sementara ini, air masih gratis.
Tandon-tandon air di tiap dusun sedang dibangun. Budiono telah membentuk BPSPAM. Ia namai Tirta Kamardikan yang artinya air kemerdekaan. Kelak, jika tandon telah siap, sumbu akan dimatikan. Warga harus membayar dengan cara berlangganan seperti Yeni, Ida, Suwarni dan Sri Mulyani.
Sudarwanti tidak keberatan jika membayar. Toh sekarang ia senang bisa tidur nyenyak. “Tidak mikir air tiap malam,” pungkas Sudarwanti. ***