PanaJournal – Sebelas tahun setelah kematian Munir, segalanya masih gelap. Terdakwa pembunuhnya, Polycarpus Budihari Priyanto, telah dinyatakan bebas. Seno Gumira Ajidarma berbincang dengan Suciwati Munir, untuk mengingatkan kita bahwa kemanusiaan harus terus diperjuangkan.

Menjelang peringatan “11 Tahun Terbunuhnya Munir”, pada 7 September 2015, di Galeri Cemara Enam, Jakarta, Suciwati Munir menghubungi saya, dan bertanya apakah saya mungkin menuliskan suatu naskah baru yang akan dibacakan Happy Salma. Sesuatu yang bukan lagi “Aku, Pembunuh Munir”, cerita pendek yang pernah dibacakan Butet Kartaredjasa. Akhirnya saya tulis “Aku, Istri Munir”, naskah monolog, untuk acara tersebut. Dalam prosesnya, saya terlebih dulu mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti kerja jurnalistik, yang bersama jawabannya dimuat di sini untuk menyambut peringatan itu.

Salam,

SGA  

Q: Bisakah Anda ceritakan apa yang Anda rasakan ketika untuk pertama kalinya mendengar tentang meninggalnya Munir?

A: Rasanya seperti terbanting dari ketinggian berpuluh meter dari langit. Mati rasa. Saya menolak percaya! Mengingkari semua kabar kematiannya. Saya terbiasa melihat fakta bukan hanya kabar. Saya harus membuktikannya dengan mata kepala saya sendiri, bukan katanya, katanya. Kalaupun saya bertanya, harus kepada orang yang melihat langsung jenazahnya — dan ketika saya menyaksikannya …. Tuhan, kenapa bukan hamba yang Engkau ambil? Kenapa harus dia? Dia masih dibutuhkan oleh banyak orang, orang-orang tertindas yang selama ini dibelanya. Dia masih dibutuhkan negara ini, yang pemerintahnya korup dan penuh kekerasan ini, agar akuntabel dan menghargai hak asasi manusia, juga mengajari bangsa ini untuk menolak kekerasan.

Q: Bagaimana Anda mendapat kabar bahwa Munir meninggal karena racun, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? 

A: Kabar ini saya terima dari Rachland Nasidik yang diberitahu oleh salah satu media besar di Belanda. Jurnalis itu kemudian menghubungi saya dan memberitahu bahwa berkas hasil otopsi Cak Munir sudah diserahkan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Deplu. Shock, meskipun sudah diprediksi atas kematiannya yang mendadak, tetap menyisakan rasa sakit yang dalam.

Q: Bagaimanakah caranya Anda memberitahu putra-putri Anda kemudian, dari kabar meninggal sampai kabar karena racun?

A: Anak saya yang kecil, Diva, masih umur dua tahun, sementara yang besar, Alif, umur enam tahun. Alif membaca tulisan pada karangan bunga dukacita, dalam ketidak mengertiannya lalu menanyakan kepada saya: “Kenapa berduka cita atas meninggalnya Abah? Kan Abah pergi untuk sekolah? Bukannya Desember nanti kita akan ketemu Abah lagi Bu?”

Saya terpaku, lalu saya peluk Alif dan saya bilang bahwa Abah pergi, tidak akan kembali lagi, karena Tuhan sangat mencintai Abah. Perlu proses untuk bisa menerima kenyataan, bahwa orang tercinta kami tidak lagi berada di sisi kami. Diva masih terlalu kecil untuk memahami ini. Sampai beberapa bulan kemudian, pertanyaan dari mulut kecil itu menghunjam jantung saya, “Bu, kenapa Abah dibunuh?”

Q: Bagaimanakah Anda menjalani waktu sesudah itu? Makan tak enakkah? Apa yang Anda rasakan menjelang tidur? Sampai berapa lama hal itu berlangsung?

A: Krisis menghunjam diri, sesaat pernah terbersit untuk segera menyusulnya, beruntung kewarasan lebih menarik saya dalam dunia nyata. Rasanya tak ingin hidup. Saya mencoba membangkitkan diri dalam kesibukan, tak banyak membantu. Lemah di diri dan di jiwa. Butuh kesibukan yang luar biasa untuk menarik saya ke dalam dunia nyata. Di ujung tahun 2004 saya putuskan pindah rumah, agar tak melihat banyak kenangan di mana dia ada. Saya masih punya tanggung jawab untuk anak-anak saya, dan pencarian kebenaran atas kematiannya. Berat badan saya turun sepuluh kilogram, makan seperti robot, yang penting makan, tidak pernah tahu enak atau tidak enak. Kesadaran dan keyakinan bahwa saya harus tetap hidup, dan membangun harapan untuk pertanyaan yang terus mencari jawab, membuat saya tetap makan dan tidur. Saya putuskan, ingatan saya tentang Munir adalah ingatan kebahagiaan saja, semua hal yang membuat saya sangat mencintainya.

Namun saya beri ruang juga diri saya untuk menangis, marah, atas kejadian yang menimpanya. Tidak banyak, tapi ada, karena saya hanya manusia biasa.

Q: Bagaimana Anda berjuang mengatasi keguncangan atas peristiwa itu? 

A: Tetap fokus, membangun keimanan dan keyakinan pada kebenaran. Terus memberikan ruang atas duka kehilangannya, dan terus mengingatnya dalam ruang kebahagiaan selama bersama Munir. Keyakinan bahwa kejahatan harus dilawan.

Q: Tidak semua istri menuntut keadilan atas pembunuhan (politis) suaminya – apa yang membuat Anda melakukannya?

A: Ditinggalkan oleh orang yang kita cintai itu amat sangat menyakitkan, tentu juga tidak benar, kalau kita membiarkan orang boleh dibunuh karena dia kritis. Cinta adalah dasar saya terus meminta keadilan ini. Jangan sampai ada orang lain lagi yang dibunuh seperti suami saya.

Q: Apa yang terutama membuat Anda merasakan kehilangan setelah kepergian Munir?

A: Kehilangan di semua ruang. Keberadaannya sebagai suami dan abah anak-anak saya, pendamping hidupku, aktivis kemanusiaan yang kritis, orang yang lebih banyak memberikan contoh pada perilaku daripada bicara. Panutan yang luar biasa baik fisik maupun psikologi. Orang yang menginspirasi dengan penuh cinta pada orang lain dan negaranya.

Q: Setelah kepergian Munir, apakah masih menerima teror? Bagaimana ujudnya? Bagaimana pula reaksi Anda dan (mungkin) putra-putri Anda? 

A: Masih, bahkan seminggu setelah almarhum dikebumikan saya mendapat paket, isinya kepala ayam dan kaki ayam beserta kotorannya, dengan tulisan ancaman: jangan libatkan TNI atau kamu bernasib sama seperti ini! Paket itu dikirim ke rumah saya dan kantor Munir, tapi ditujukan kepada saya. Surat ancaman terus ada. Buat saya, ancaman itu dilakukan oleh orang yang pengecut dan penakut, jadi kenapa saya harus takut? Kami terus menjalani hidup dalam keyakinan untuk terus menegakkan hak asasi manusia, yang tetap menjadi kekayaan batin demi masa depan lebih baik.

Q: Bagaimana Anda dan putri Anda menjalani kehidupan hari-hari ini, dan rencana ke masa depan? 

A: Saya terus bekerja di ruang penegakan hak asasi manusia dalam kehidupan sosial saya. Bekerja jadi konsultan untuk meneruskan hidup dan biaya sekolah anak-anak ke depan. Merajut hari dengan keyakinan bahwa cinta yang diberikan Munir tidak pernah hilang dan terus ada karena Munir terus ada di hati dan nafas kami. Anak-anak terus belajar dan ke depan ingin menimba ilmu ke luar negri. Bahwa kehidupan masa lalu adalah pijakan hidup lebih baik. Kami terus memperjuangkan dibongkarnya dalang pembunuh Munir, dan terus mendorong diselesaikannya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Kami akan terus mencari strategi, agar penegakan hak asasi manusia menjadi laku hidup masyarakat Indonesia. Pasti perlu proses yang lama, tapi kami yakin pasti bisa.

Q: Apa yang membuat Anda tertarik kepada Munir, dan bersedia hidup bersamanya?

A: Kesederhanaan, kecerdasannya, humoris, kepekaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan sangat tinggi, dan tentu saja karena dia juga sangat mencintai saya. Mungkin karena saya yakin, bersama saya dia tetap menjadi dirinya sendiri sampai kapan pun yang dia inginkan. Karena dia juga tetap membiarkan saya menjadi diri saya sendiri ketika bersamanya.(***)

Leave a Reply

3 comments

  1. ray

    Thanks very interesting blog!

  2. Rima

    Ini rintihan yang bikin pilu bangsa ini.

  3. Faluthi

    11 tahun kematian Munir dan 17 tahun reformasi, masih panjang perjuangan menuntaskan pelanggaran HAM di Indonesia