PanaJournal – Terlilit utang dan bangkrut. Itu mimpi buruk bagi setiap pengusaha. Tapi, sang pelopor bisnis bimbingan belajar ini memperlakukannya bak sahabat.

BERDIRI di atas lahan yang luasnya hampir tiga kali lapangan basket, rumah Purdi E. Chandra (54) terlihat asri dengan berbagai tanaman dan pepohonan. Lokasinya dikenal luas sebagai kawasan hunian favorit ekspatriat di Jakarta Selatan. Sore itu, Purdi, sang pendiri dan pemilik bimbingan belajar Primagama–setidaknya sampai tulisan ini dirilis—menyambut saya dengan ramah.

Kami lantas menuju ke bagian belakang, dan duduk di dekat kolam renang. “Kalau menurut ilmu feng shui, letak kolam renang ini salah. Posisinya menjorok ke bawah. Sejak saya tinggal di sini banyak masalah yang datang,” ujarnya sambil tersenyum kecut.

Mantan anggota MPR utusan DIY Yogyakarta ini memang tengah dirundung kesulitan. Dia terbelit utang lebih dari Rp40 miliar. Sejak Juni 2013, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat bahkan menjatuhkan vonis bangkrut terhadap dirinya. Terpaksalah ia melepaskan berbagai hartanya dikuasai oleh kurator kepailitan, untuk dilego ke pihak lain agar utangnya terlunasi.

Termasuk dalam harta Purdi adalah sejumlah properti, merek Primagama dan sahamnya di PT Primagama Bimbingan Belajar, bisnis yang telah ia rintis bersama para rekan selama lebih dari 30 tahun. Primagama sendiri merupakan pelopor dan salah satu bimbingan belajar terbesar di Indonesia. Berikut nukilan wawancara saya dengan Purdi:

Q: Mengapa Anda bisa bangkrut? 

A: Mungkin, saya bukan termasuk orang yang bisa mengatur uang, secara pribadi, ya. Apalagi, ada beberapa bisnis saya di luar Primagama yang seret. Jadi, arus kas pribadi saya terganggu. Primagama, sih, berjalan dengan baik. Tapi, tidak mungkin saya semaunya mengambil duit perusahaan.

Q: Banyak yang beranggapan bahwa kepailitan menjadi strategi pengusaha untuk mangkir dari kewajiban membayar utang. 

A: Bukan saya yang mempailitkan diri. Saya tidak mengajukan (kepailitan-Red). Untuk kasus ini, saya yang dipailitkan. Ini saya terima sebagai ujian—ujian sebagai pengusaha. Saya tidak melarikan diri dari kewajiban apapun. Banyak pengusaha yang mengalami kesulitan finansial. Ini hal biasa, kok. Tahun 2008 lalu, Ical (Aburizal Bakrie-Red) dan Grup Bakrie sempat menjadi yang termiskin.

Coba perhatikan, siapa yang punya utang sampai puluhan triliun? Tapi, karena dia punya jiwa entreprenurship, Ical bisa bertahan. Robert Kiyosaki (Pebisnis dan pengarang buku populer Rich Dad Poor Dad-Red) pun bernasib sama dengan saya. Dia juga baru dinyatakan pailit. Jadi, saya anggap bahwa posisi saya sekarang itu sedang mundur, sambil mengambil ancang-ancang untuk lompat lebih tinggi lagi.

Q: Di YouTube, banyak video tentang Anda ketika sedang memberikan materi di semacam seminar dan pelatihan kewirausahaan. Beberapa buku yang Anda tulis seperti Menjadi Entrepreneur Sukses dan Cara Gila Jadi Pengusaha, bahkan laku keras dan dicetak hingga belasan kali. Anda juga termasuk motivator?

A:  Saya bukan motivator. Apa yang saya lakukan hanyalah memberikan inspirasi kepada orang-orang mengenai bisnis dan kewirausahaan. Jadi, saya itu inspirator.

Q: Dengan kondisi seperti sekarang ini, Anda yakin ada yang mau membeli Primagama?

A: Kenapa tidak? Yang pailit itu adalah saya sebagai pribadi, bukan Primagama. Sampai sekarang, Primagama tetap berjalan dengan baik. Sebagai pelopor bimbingan belajar, Primagama telah hadir di 33 provinsi di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Hingga kini, ada 500 lebih gerai Primagama, termasuk di tempat terpencil seperti di Kepulauan Natuna. Bisa dibilang, Primagama itu adalah “Dinas Pendidikan versi swasta”. Karena, Primagama bertujuan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kami pernah mengurusi persiapan ujian nasional di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Selama tiga tahun berturut-turut, tingkat kelulusannya menembus 90%. Bahkan, direksi saya sampai mendapat “oleh-oleh” sepulang dari sana. Dia digigit nyamuk malaria.

Q: Menurut Anda, siapa yang cocok menjadi pemilik baru Primagama?

A: Ini bukan semata-mata bisnis, atau jual-beli biasa. Primagama adalah aset nasional, karena ini berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Dengan jaringan yang luas hingga ke pelosok nusantara, saya rasa yang cocok membeli Primagama adalah calon presiden Indonesia. Coba, deh, partai politik apa yang jaringannya tersebar lengkap di seluruh Indonesia? Belum tentu ada. Kalau tidak bangkrut, tadinya saya mau jadi calon presiden, ha-ha-ha-ha…

Q: Apa bedanya bisnis bimbingan belajar dengan sektor usaha lainnya?

A: Kelebihan bisnis ini adalah pembayaran selalu dilakukan di muka. Siswa-siswi kami itu membayar biaya les selama satu tahun ajaran pada awal pendaftaran. Coba pikir, apa ada restoran yang meminta pelanggannya membayar di muka untuk kunjungan makan selama satu tahun ke depan? Tapi sekali lagi, ini bukan hanya bisnis. Ada misi sebagai pendidik.

Sekarang, tren bimbingan belajar sudah berubah. Kini (bimbingan belajar–Red) bukan lagi hanya sebagai kebutuhan (supaya lulus ujian nasional atau seleksi masuk perguruan tinggi negeri–Red). Para orang tua siswa berpikir bahwa anak-anaknya dapat mengisi waktu luang dengan mengikuti bimbingan belajar. Itu dilakukan untuk menghindari hal-hal negatif, seperti tawuran, balap liar, dan lain-lain.

Jadi, bimbingan belajar pun menjadi semacam lifestyle. Lho, bisa saja gerai-gerai Primagama kelak dilengkapi tempat nongkrong, kafe atau sejenisnya, seperti 7-Eleven itu. Jadi, sekalian rekreasi. Sebetulnya, Primagama menawarkan layanan bimbingan belajar dengan tiga aspek: remedial, yakni memperbaiki proses belajar siswa yang kurang memahami materi belajar di sekolah; enrichment, ini proses pengayaan bagi para siswa yang pemahamannya sudah cukup baik; serta consulting, untuk bertukar pikiran dengan para siswa mengenai tujuan dan minat belajarnya, baik secara akademik maupun psikologis.

Q: Berapa omzet Primagama per gerai?

A: Itu tergantung dari banyak hal seperti lokasi, jumlah siswa, dan lain sebagainya. Tapi, omzet per gerai berkisar dari Rp400 juta sampai Rp2 miliar per tahun. Hampir seluruh gerai Primagama ini dikelola berdasarkan sistem franchise. Tapi, kebanyakan pemegang franchise Primagama di banyak daerah adalah mantan karyawan saya. Karena, saya ingin mencetak pengusaha-pengusaha baru yang membuka lapangan kerja baru. Banyak dari mereka yang kini menjadi pengusaha, dan bisnisnya pun bukan hanya Primagama, tapi sudah merambah ke sektor usaha lainnya.

Q: Seberapa penting entrepreneurship buat Anda?

A: Saya dulu sempat terdaftar di empat jurusan kuliah: Teknik Elektro dan Psikologi di Universitas Gadjah Mada, serta Sastra Inggris dan Ilmu Matematika di Universitas Negeri Yogyakarta. Alhamdulillah, saya tidak ada yang lulus dari satu pun kuliah tersebut, ha-ha-ha.. Saya waktu itu tidak begitu merasa mantap dengan sistem kuliah di Indonesia. Kesannya kok hanya satu arah: duduk di bangku kuliah, mencatat materi kuliah, lalu mengikuti ujian.

Untuk itu, saya merintis sebuah bimbingan belajar pada tahun 1982. Di situlah jiwa entrepreneurship saya mulai tumbuh. Modal usaha saya pinjam ke teman sebesar Rp300.000. Saya menyewa tempat untuk ruangan kelas. Bahkan, saya harus menyewa kursi. Jadi kalau ada siswa, saya pakai. Kalau mereka sudah pulang, saya kembalikan. Banyak juga orang tua siswa yang bertanya waktu itu ketika mereka melihat ruangan kelas yang kosong tanpa bangku. Saya bilang saja bahwa kursinya sedang diservis.

Q: Yang saya tahu, Primagama mulai dikenal orang ketika memberikan jaminan diterima di perguruan tinggi negeri (PTN).

A: Iya, betul. Jadi, siswa hanya membayar biaya les jika diterima di perguruan tinggi negeri. Kalau tidak lulus, ya, tidak perlu membayar. Gampang, kok. Waktu itu saya sendiri yang menyeleksi calon siswa Primagama. Saya buat tes masuk. Tentu saja, saya hanya menerima siswa-siswa yang pintar. Ya, kalau yang pintar-pintar tentunya pasti masuk PTN, bukan? Setelah pengumuman kelulusan, saya taruh iklan ucapan selamat kepada siswa-siswi Primagama tersebut di berbagai koran. Dari situlah, banyak orang yang mengenal Primagama.

Q: Lalu, berapa pendapatan Anda waktu itu? 

A: Wah, sesaat setelah pengumuman seleksi masuk PTN dirilis, siswa-siswa saya waktu itu langsung pindah ke luar kota untuk mencari indekos dekat kampus. Saya malah kesulitan mengontak mereka. Akhirnya, tak ada satupun yang membayar biaya les, ha-ha-ha. Ya, tidak masalah. Yang penting, saya sudah mendapat nama dari keberhasilan mereka. Pengusaha itu harus bisa kreatif. (***)

Leave a Reply